Lembar Kerja Siswa tiba-tiba jadi ‘primadona’ berita. Cerita
rakyat–tapi entah benar ini cerita rakyat apa bukan–berjudul Bang Maman
dari Kalipasir sontak dipermasalahkan karena mengandung kata berkonotasi
negatif ‘istri simpanan’. Masalahnya meskipun kata itu sudah lazim kita
dengar di televisi, radio, maupun surat kabar, kata tak elok itu justru
menyelip dalam cerita rakyat tadi yang ditujukan untuk pembaca sasaran
siswa kelas II SD. Kasus ini merembet pada LKS-LKS lain, termasuk juga
kesalahan menyajikan kunci jawaban pada soal tentang ideologi negara.
Masalah
ini pun melebar jadi ke mana-mana. Soal standar kompetensi (SK) dan
kompetensi dasar (KD) yang kelirulah, termasuk ketidakcermatan pemilihan
contoh cerita rakyat. Soal LKS adalah bukan buku layaklah. Siapa yang
mau mengklaim bahwa LKS bukanlah buku? LKS atau dalam istilah bahasa
Inggris disebut workbook lazim digunakan sebagai buku pendamping buku
ajar. LKS kadang berupa lembaran-lembaran berisi soal-soal untuk
dikerjakan siswa dan kadang dapat dirobek per lembar untuk dinilaikan.
Di dalamnya terdapat materi sebagai pengantar, tetapi tidak mendalam.
Namun,
LKS menjadi salah kaprah jika diposisikan sebagai buku ajar karena
kedalamannya sangat kurang seperti halnya modul dalam lokakarya ataupun
pelatihan. Adapun pendapat mengatakan LKS bukan buku juga dapat dibantah
dengan definisi buku yang dinyatakan Unesco berikut ini.
Apa
yang disebut buku? Unesco pada awal 1970-an mengeluarkan data statistik
tentang perbukuan dunia. Data ini diperlukan untuk mengukur pengaruh
buku terhadap perkembangan ekonomi dan budaya pada suatu negara,
khususnya negara Dunia Ketiga. Hasil pendataan ini hendak digunakan
untuk mengurangi angka buta huruf pada masyarakat dunia. Karena itu,
Unesco pun membuat batasan buku sebagai berikut:
lembaran-lembaran kertas yang bercetak;
kertas-kertas bercetak itu digabungkan menjadi satu dalam bentuk jilidan;
kertas-kertas
bercetak dan berjilid itu memunyai kulit (sampul) yang biasanya
menggunakan kertas lebih tebal dan berbeda jenisnya dengan teks;
kertas-kertas bercetak itu mengandung lebih dari 49 halaman;
cetakannya tidak dilakukan dalam masa-masa tertentu dan tidak berurutan dengan penerbitan yang lain (bukan berkala).
Dengan
batasan ini, Unesco pun mudah melakukan klasifikasi penerbitan buku
pada suatu negara. Batasan Unesco ini tentu tidak terlalu lengkap karena
tidak pula menyebutkan ukuran dan bentuk terbitan yang disebut buku itu
seperti apa. Unesco hanya ingin membedakan buku dari terbitan berkala
(media massa) serta terbitan lain seperti brosur, laporan, dan katalog
yang tidak dapat disebut buku. Unesco kemudian menambahkan kriteria baru
untuk buku yaitu diterbitkan sekurang-kurangnya 50 eksemplar dan dijual
terbuka—kriteria ini malah mempersulit mereka yang hanya menerbitkan
buku secara terbatas.
Batasan buku tersebut boleh jadi berbeda di
setiap negara. Di Indonesia lembaga akademik seperti Lembaga
Administrasi Negara tampaknya mengacu pada batasan Unesco untuk
mendefinisikan karya tulis ilmiah berbentuk buku. Karena itu, muncul
pula syarat tambahan seperti buku wajib ber-ISBN dan wajib pula
diedarkan atau dijual di toko-toko buku. Ketentuan ini harus dijalankan
para widyaiswara yang hendak menerbitkan buku.
Namun, kalangan
penerbit Indonesia ada yang menerbitkan buku kurang dari 49 halaman yang
dikategorikan buku anak. Buku anak ada yang terbit 8, 16, 24, dan 32
halaman (semuanya kelipatan 8 atau 16). Buku-buku umum untuk pembaca
dewasa di Indonesia umumnya terbit dalam kisaran 80—160 halaman. Buku
ajar perguruan tinggi dapat berkisar 200 halaman lebih.
Saya
memandang kasus ini adalah kasus keteledoran editing belaka, bukan
mempermasalahkan LKS tidak pantas menjadi buku yang digunakan untuk
belajar mengajar. LKS harus ditempatkan pada penggunaannya untuk menguji
kemampuan siswa secara harian atau periode tertentu dalam memahami
sebuah materi pelajaran. LKS mendukung penggunaan buku ajar di sekolah.
Nah, masalahnya karena LKS ini seperti dianggap ‘ringan dan lucu’ apakah
perlu mempekerjakan seorang editor profesional untuk mengeditnya?
Ditengarai
bahwa banyak penerbit LKS itu memang menjalankan usahanya sebagai usaha
rumahan (home industry) atau usaha kecil menengah. Modal utama mereka
memang jaringan guru-guru di sekolah. LKS ini seolah menjadi alternatif
penggunaan buku ajar karena dianggap lebih murah. Banyak LKS menggunakan
kertas jenis kertas koran (CD) dan dicetak cukup dengan mesin cetak
offset TOKO. Jilidnya pun cukup menggunakan saddle stiching (jahit
kawat). Penulisnya melibatkan guru-guru ataupun mereka yang baru lulus
dari perguruan tinggi. Di sinilah kerap demi efisiensi, para penulis
juga merangkap sebagai editor. Karena itu, LKS seperti bahan ajar yang
‘murah meriah’ dan yang penting sesuai dengan kurikulum.
Pada
penerbit LKS yang lebih besar dengan skala industri, mungkin saja
mempekerjakan para editor, baik sebagai karyawan maupun secara lepas.
Memang dalam skala UKM, banyak penerbit tadi tidak tergabung di dalam
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sehingga mereka pun menjalankan bisnis
penerbitan dengan nalar dan wawasannya saja tanpa peduli tentang aspek
editorial yang selalu menjadi fokus pembinaan IKAPI untuk para penerbit
anggotanya.
Editing buku untuk sekolah ini tidaklah gampang. Sang
editor memerlukan kecermatan tingkat tinggi, terutama dalam menjaga
aspek editing, yaitu
* keterbacaan dan kejelahan;
* ketaatasasan;
* kebahasaan;
* ketelitian data dan fakta;
* kelegalan dan kesopanan-kepatutan.
Adapun
di dalam buku-buku untuk belajar itu ada aspek penjabaran standar
kompetensi dan kompetensi dasar berupa materi, pengayaan materi
(enrichment), soal-soal, rangkuman materi, dan tentunya kreativitas
penulis yang menjadikan bukunya berbeda dengan buku lain. Semunya
menuntut kebenaran dan kepatutan dari sisi materi serta penyajian.
Adalah
penting bahwa seorang editor tidak hanya mengedit dengan akalnya,
tetapi juga dengan perasaannya. Editing yang termasuk sulit adalah
editing pada nilai rasa suatu materi dikaitkan dengan pembaca sasaran,
apalagi pembacanya anak-anak. Karena itu, tidak salah jika Romo Mangun
mengatakan bahwa ‘dalam ranah tulis-menulis yang paling sulit adalah
menulis cerita anak dan di ujung ekstremnya yang paling mudah adalah
menulis skripsi’.
Tingkat kesulitan menulis buku untuk anak SD
lebih tinggi daripada menulis buku untuk anak SMP atau SMA. Penggunaan
materi dan pemilihan bahan ajar seperti wacana (berita, cerita, artikel,
dsb.) harus memperhatikan konteks pemikiran anak. Nah, terkadang sang
penulis pun keliru memilihkan cerita anak yang berkualitas dan tepat
untuk anak. Cerita rakyat tidak selalu cocok untuk anak karena cerita
rakyat awalnya berkembang sebagai foklor dari mulut ke mulut sekadar
untuk menghibur. Dongeng pun yang tercipta pada masa lampau tidak selalu
identik ditujukan untuk pembaca anak-anak karena di Indonesia ada
dongeng-dongeng yang sangat sensitif untuk alam pikiran anak, misalnya
Sangkuriang dari Jawa Barat yang berniat menikahi ibu kandungnya
sendiri.