BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Konsep Dasar Ekonomi dan Transaksi dalam Sistem Muamalah Islam
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai apa yang dinamakan dengan transaksi. Transaksi itu kita laukan dalam berbagai bentuk permasalahan, mulai dari seperti jual-beli, utang-piutang,sewa-menyewa dan sebagainya. Tetapi tidak jarang ada yang menyalah gunakan hal itu dengan berbagai macam alasan. Sistem muamalah pada zaman sekarang telah tercampuri dengan perkara baru yang bisa dibilang bid’ah atau perkara yang tidak seharusnya dilakukan atau ada pada setiap transaksi dalam islam, seperti riba,kecurangan, dan sebagainya.
Pada dasarnya banyak yang tahu prinsip dalam sebuah muamalah, yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang minim. Tetapi apakah pernah terpikir kalau pengambilan keputusan tentang sebuah hukum itu haruslah didasari dengan konsep dan sumber yang jelas termasuk pada kasus muamalah. Oleh karena itulah kelompok penulis akan sedikit mengupas tentang konsep-konsep dasar dari transaksi/muamalah.
1.1.2 Meluasnya Ajaran Sufisme Disetiap Unsur Lapisan Masyarakat
Sufisme atau sering kita sebut dengan Tasawwuf adalah sesuatu yang telah jarang kita dengar seluk-beluknya. Hal itu dikarenakan adanya suatu pergantian generasi yang makin lama makin menunjukkan transparansi eksotisme tentang agama dengan lebih menonjolkan pada sebuah logika.
Zaman sekarang tidak jarang orang yang beranggapan kalau ajaran sufisme itu adalah ajaran sesat dikarenakan banyak penganutnya yang malah mengajarkan ajarannya dengan mengatas namakan dirinya sebagai Tuhan. Padahal hal itu salah, perkembangan zaman saat ini adalah perkembangan yang bertolak belakang dengan perkembangan zaman dahulu. Jika zaman dahulu sebuah perkembangan itu diukur dengan adanya pemikiran-pemikiran spiritual dan penemuan yang berdasarkan teori,praktik dan agama maka sekarang perkembangan zaman hanya diukur dari berapa banyak teknologi yang masuk dan menjelaskan sebuah penemuan dengan tingkat raionalitas yang masuk akal.
Dalam permasalahan ini mari kita kupas sedikit tentang apa itu ajaran sufisme dan pro-kontra yang menyelimutinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muamalah ?
2. Apa konsep dasar pengambilan hukum Muamalah ?
3. Apa contoh-contoh transaksi yang terdapat pada Muamalah ?
4. Bagaimana perkembangan Muamalah dalam perkembangan Globalisasi ?
5. Apa yang dimaksud dengan Sufisme dan bagaimana penyebarannya ?
6. Apa Ajaran-ajaran Pokok Sufisme ?
7. Bagaimana keadaan Sufisme dalam Era Globalisasi ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah :
1. Mengetahui makna dari Muamalah.
2. Mengetahui konsep dasar Muamalah.
3. Mengetahui beberapa contoh dari Muamalah.
4. Mengetahui perkembangan Muamalah dalam perkembangan Globalisasi.
5. Mengetahui makna dari ajaran Sufisme.
6. Mengetahui pokok-pokok ajaran Sufisme.
7. Mengetahui keadaan Sufisme di era perkembangan global.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Memahami Makna Muamalah
Secara bahasa mu’amalah diambil dari kata عامل,يعامل, معاملة yang berarti saling betindak, saling berbuat dan saling beramal. Menurut istilah, pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit. Definisi muamalah dalam arti luas adalah aturan aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitanya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Secara singkat, muamalah dapat diartikan sebagai tukar-mnukar barang atau yang member manfaat dengan cara ditentukan, seperti jual beli,utang-piutang, sewa menyew,dan sebagainya . Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah. Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.
2.2 Konsep Dasar Muamalah
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “Al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor:
• Haram zatnya
Di dalam Fiqih Muamalah, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “Ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.
• Haram selain zatnya
Beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: Tadlis (penipuan), Ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), Bai’ najasy (rekayasa pasar), Taghrir (ketidakpastian), dan Riba (tambahan).
• Tidak sah
Segala macam transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Yang seperti ini, terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.maka transaksi ini dianggap tidak sah.
PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALAH
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendiskripsikan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialeka nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
Hukum asal dalam muamalat adalah mubah. Oleh karena itu dalam beberapa poin-poin akan didapati pernyataan-pernyataan berikut sebagai pembentuk pengertian muamalah secara global :
• Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
• Menetapkan harga yang kompetitif
• Meninggalkan intervensi yang dilarang
• Menghindari eksploitasi
• Memberikan toleransi
• Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah
AKAD
Akad (al-‘Aqd), yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, Akad dalam bahasa Arab berarti: pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh fuqahâ’. Akad disini kedudukannya sebagai pengikat antara penjual dan pembeli secara syah.
RUKUN AKAD
Rukun akad ada tiga; yaitu âqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma’qûd alaih) dan shighatul ‘aqd (bentuk [ucapan] akad) .
Pertanyaan yang kemudian muncul, “Bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli saat ini yang tidak melibatkan shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad semacam ini dan karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia (‘urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan.
Prinsip-prinsip dalam penataan ekonomi Islam
Prinsip-prinsip itu adalah :
• Harta yang baik adalah tulang punggung kehidupan; wajib dicari; dikelola; dan diinvestasikan dengan baik
• Setiap orang yang mampu dan punya potensi untuk bekerja, mesti bekerja dan mencari penghasilan
• Sumber-sumber alami perlu dicari dan segala materi dan energi yang ada wajib di manfaatkan.
• Sumber-sumber pemasukan tidak boleh diperoleh dari usaha yang tidak baik.
• Kegiatan ekonomi harus mendekatkan jarak antara berbagai lapisan masyarakat yang berbeda-beda. Baik pada golongan kaya-raya maupun golongan fakir.
• Perlu ada jaminan sosial bagi setiap warga dan perlindungan atas kehidupan dan ada usaha untuk memberikan kesenangan dan ketenangan bagi mereka.
• Mendorong pengeluaran dan infak dalam kebajikan, membangun solidaritas antar warga, mewajibkan kerjasama atas dasar kebajikan dan takwa.
• Harta ditetapkan sebagai barang terhormat; pemilikkan pribadi dihormati selama penggunaannya tidak melanggar kepentingan umum.
• Sistem transaksi material disusun berdasarkan aturan yang adil, yaitu mengontrol pihak yang kuat dan melindungi pihak yang lemah.
• Negara bertanggung jawab melindungi berjalannya sistem perekonomian.
Usaha yang dilarang
• Riba ( keuntungan / kelebihan yang ditetapkan dalam transaksi utang piutang)
• Pencurian, perampokan, korupsi, mengambil hak orang lain, mengambil milik umum yang bukan haknya, dan sejenisnya.
• Perdagangan yang merusak kesehatan dan kewarasan fikiran dan barang-barang yang diharamkan agama, seperti minuman yang memabukkan, berdagang lotere, dan sejenisnya.
• Bisnis judi, hiburan maksiat, pelacuran, dan segala yang meruntuhkan moral dan budi pekerti umat manusia
• Penyuapan dan pemberian komisi –komisi yang dapat mengahncurkan nilai hak dan kesanggupan.
• Perdagangan secara licik dalam bentuk :
• Ikhtikar ( menimbun barang )
• Manipulasi ( ghasy , seperti menyembunyikan aib barang, mengurangi takaran dan timbangan).
• Bersumpah atas barang dagangan, agar pembeli percaya dan setuju atas penawarannya
• Iklan yang menipu dan promosi yang tidak jujur.
• Hal – hal diatas dapat menimbulkan kerusakan dan kebinasaan bagi umat manusia.
2.3 Contoh-contoh Aktivitas Muamalah
Salah satu transaksi dalam kegiatan ekonomi dapat berupa :
1. Jual-beli
2. Utang-Piutang
3. Sewa-menyewa
4. Khiyar
5. Riba
6. Salam
7. Syirkah
8. Qirad, dsb
1. Transaksi Jual-Beli
Jual beli memiliki arti menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain sedangkan menurut syara’ adalah menukarkan harta dengan arta yang lain melalui cara tertentu Pemilik harta, punya hak untuk melakukan penjualan dan pertukaran barang miliknya. Yang terpenting bahwa transaksinya dilakukan dengan jujur dan terbebas dari eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam jual beli pun ada yang dikatakan Khiyar, yaitu memilih. Khiyar ini biasanya selalu ada pada setiap kegiatan Mu’amalah. Ada tiga macam Khiyar :
1. Khiyar majlis. Hak pilih bagi si pembeli setelah transaksi terjadi selama mereka ( penjual dan pembeli ) masih berada ditempat terjadinya transaksi.
2. Khiyar syarat. Hak pilih bagi si pembeli yang dipersyaratkan waktu melakukan transaksi dan disetujui oleh si penjual. Si pembeli berhak memilih meneruskan atau membatalkan transaksi dalam jangka waktu yang dipersyaratkan itu.
3. Khiyar ‘aibi. Hak pilih bagi si pembeli disebabkan ada cacat barang, atau ada yang tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan pada apa yang ditransaksikan.
Rukun Jual beli :
1. Ada penjual dan pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauan sendiri, dewasa/baligh dan tidak mubadzir alias tidak sedang boros
2. Ada barang atau jasa yang diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang, dinar emas, dirham perak, barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat karena mungkin di tempat lain namanya salam.
3. Ada ijab qabul yaitu adalah ucapan transaksi antara yang menjual dan yang membeli (penjual dan pembeli).
Hukum-Hukum Jual Beli
1. Haram
Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
2. Mubah
Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
3. Wajib
Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.
Macam-macam Jual-Beli :
a. Jual beli barang yang dapat dilihat dengan ketentuan
• Keadaan bendanya suci (tidak/bukan benda najis)
• Bendanya bisa diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan
• Bendanya dapat diserahkan kepada pihak pembeli secara langsung
Selain itu juga harus ada Ijab-Qobul
b. Menjual benda yang telah disifati dalam suatu tanggungan (Pesanan)
Dalam jual-beli yang ke dua ini, wajib diadakan pendiskripsian sifat bendanya terlebih dahulu dan juga dilakukan Ijab Qobul.
c. Barang yang dijual bisa dilihat oleh kedua belah pihak atau benda tersebut nyata. Dengan kata lain tidak boleh menjual barang yang tidak terlihat baik oleh penjual maupun pembeli.
Jual beli yang dilarang :
1. Menjual barang yang tidak ada pada penjual/ bukan milik sendiri
2. Menjual barang yang ditawar oleh orang lain
3. Rekayasa penawaran
4. Barang haram
5. jual beli hutang dengan hutang
2. Utang-Piutang
Utang-Piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar dengan yang sama dengan itu. Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Hukum memberikan pitang adalah sunnah bahkan bisa menjadi wajib jika orang yang meminjam mengalami musibah atau sangat berhajat. Adapun rukun-rukun Utang-Piutang dalam syari’at Islam yaitu :
1. Adanya Ijab-Qobul
2. Adanya yang berhutang dan menghutangi
3. Barang yang dihutangkan bisa dihargai.
Adapun hukumnya membayar hutang yang jumlahnya lebih dari jumlah yang dihutangi dan hal itu diperbolehkan jika memang pada awalnya tidak ada kesepakatan atas hal itu. Jika pada awalnya telah terjadi kesepakatan bahwa yang meminjamkan itu mensyaratkan jumlah yang lebih dari yang dipinjamkan maka hal itu tidak boleh karena termasuk Riba. Adapun syarat-syarat agar suatu piutang itu menjadi amal shalih :
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
Berdasarkan uraian-uraian diatas bahwa mumalah adalah sesuatu hal yang penting maka dengan mempelajari fiqih mu’amalah diharapkan setiap muslim dalam beraktifitas khususnya dalam bidang perekonomiam mampu menerapkan atarun-aturan allah dalam rangka memperoleh, mengembangkan dan memanfaatkan harta, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat akan tercapai sebagaimana tujuan muslim pada umumnya yang senantiasa memohon doa tersebut kepada Allah.
2.4 Fiqih Muamalah Dalam Masa Globalisasi
Perkembangan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, ekspor impor dengan media L/C, dsb.
Oleh karena perubahan sosial dalam bidang muamalah terus berkembang cepat, akibat dari akselerasi globalisasi, maka pengajaran fiqh muamalah tidak cukup bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.
Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah populer
Dengan demikian, konsep-konsep dan formulasi fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zaman, tempat dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah
Reformulasi fiqh muamalah untuk menjawab tantangan modernitas yang sangat kompleks dewasa ini harus dengan memperhatikan beberapa point penting berikut .
Pertama, Menggunakan ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu tarikh tasyri. Disiplin-disiplin ilmu ini mesti dikuasai oleh ahli ekonomi Islam, apalagi para anggota Dewan Syariah Nasional dan dosen pascasarjana ekonomi Islam yang membidangi materi fiqh muamalah dan ushul fiqh. Saat ini masih banyak anggota Dewan Syariah Nasional yang tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu syariah yang memadai, sehingga keterbatasan keilmuan syariah menjadi hal yang lumrah, Hal ini dikarenakan ada di antara mereka ada yang tidak berlatar belakang pendidikan ilmu syariah.
Kedua, Dalam reformulasi fiqh muamalah, maslahah menjadi pedoman dan acuan seperti pada kaedah “Di mana ada kemaslahatan di situ ada syariah.
Ketiga, khazanah pemikiran muamalah klasik masih banyak yang relevan diterapkan untuk zaman modern dewasa ini, maka produk pemikiran fiqh tyersebut perlu dipelihara dan dipertahankan, seperti pada qoidah “Memelihara konsep lama yang mengandung kemaslahatan (masih relevan) dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih maslahah”
Keempat, berijtihad secara kolektif (ijtihad jama’iy). Saat ini tidak zamannya lagi berijtihad secara individu. Untuk memecahkan dan menjawab persoalan ekonomi keuangan kontemporer, para ahli harus berijtihad secara jamaah (kolektif). Ijtihad berjamaah dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dalam kondisi sekarang bentuk ijtihad ini semakin dibutuhkan, mengingat terpisahkannya disiplin keilmuan para ahli.
2.5 Memahami Makna Sufisme
Sufisme adalah ilmu untuk megetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Daram suatu referensi Sufisme diartikan sebagai orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin . Ajaran ini pertama kali muncul di sekitar daerah Timur Tengah. Ajaran sufisme dimulai oleh kaum Muslim di abad 1 Hijriyah ketika mereka para sahabat beserta para tabi'in coba untuk menghindari dari apapun yang mereka dapatkan setelah mereka berhasil membuka Irak, Mesir, Suriah dan negara lainnya. Beberapa dari mereka memutuskan untuk tetap menjadi Mujahidin atau sibuk dengan beribadah dan melayani umat dengan mengajar ataupun perbuatan lainnya dalam hidup mereka. Kala itu mereka mendapat sebutan "Az-Zuhaad." Zahid berarti kurang menyukai akan kenikmatan dunia karena takut hal itu justru dapat menyebabkan susutnya waktu dan perhatian yang sebenarnya, yaitu mencapai kebahagiaan yang abadi serta tidak menjadikan kehidupan dunia itu sebagai tujuan akhir.
Setelah abad keempat Hijriyah, sufisme terbagi menjadi dua jenis: tasawuf suni dan tasawuf bid'ah. Tasawuf sunni mempraktekkan zuhud dan Ibadah sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW, cara hidupnya dan para pengikutnya. Jenis sufisme yang lain adalah yang dinamakan tasawuf bid'ah yang berarti jenis sufisme yang mengajarkan cara dan jalan hidup seseorang yang datang dari India dan Persia dan tempat lainnya yang kemudian masuk menjadi bagian umat Islam. Mereka mempraktekkan cara sufisme mereka dalam lingkungan umat Islam.
Berdasarkan hal itu para Ulama memiliki beberapa pandangan tentang tasawuf. Sebagian dari mereka mendukung tasawuf dan mayoritas dari mereka menerima Sufisme karena mereka tahu bahwa Sufisme adalah bagian dari Sunnah dan jalan hidup para Khulafaur Rasyidin. Sebagian yang lainnya menyoroti beberapa perbuatan dalam sebagian Sufisme yang menurut mereka tergolong dalam praktik bid'ah. Kita harus berhati-hati ketika berurusan dengan masalah seperti ini dan kita hanya boleh menilai perbuatan seseorang dengan berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kita perlu untuk mencontoh Sufisme yang dipraktekkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan Ahlul Bait (Keluarga Nabi).
2.6 Pokok-Pokok Ajaran Sufisme
Pokok-pokok ajaran Sufisme adalah suatu ketentuan-ketentuan yang harus dilalui sebgai prasyarat seseorang sudah berhasil pada tingkatan-tingkatan tertentu dengan apa yang disebut Sufi Sejati. Hal itu terangkum dalam beberapa konsep-konsep Sufisme. Hal itu perlu karena makna dan hakikat kesucian batin, keyakinan kepada Allah, dan hasrat dan tindkan-tindakan yang didasarkan pada keyakinan dan hasrat tersebut menghasilkan kesucin itu . Konsep-konsep tersebut yaitu :
1. Taubat, yaitu meninggalkan dan tidak melakukan lagi perbuatan yang telah dilakukannya.
2. Waro’, yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Seperti menjauhi atau menghindari barang-barang yang bersifat syubhat. Waro’ disini terbagi menjadi dua, yaitu Waro’ Lahiriyah yaitu meninggalkan seluruh perbuatan kecuali yang berhubungan dengan Allah. Waro’ Batiniyah yaitu sikap hati yang tidak menerima selain Allah.
3. Zuhud, yaitu lepasnya pandangan keduniawian dan usaha untuk mmperoleh keduniawian.
4. Sabar, yaitu ketabahan dalam menghadapi dorongan hawa nafsu
5. Faqir, yaitu tenang dan tabah dan menerima segala sesuatunya dengan ikhlas dan lebih memprioritaskan orang lain dikala orang itu sedang dalam keadaan terjepit.
6. Syukur, yaitu pengakuan terhadap kenikmatan. Artinya adalah tidak menggunakan kenikmatan yang diperoleh untuk aktivitas maksiat dan batasannya adalah mengetahui kalau nikmat itu datangnya dari Allah.
7. Khauf, yaitu rasa ketakutan dalam menghadapi siksa Allah.
8. Roja’, yaitu rasa kegembiraan hati karena mengetahui adanya kemurahan dari Allah. Khauf dan Raja’ diibaratkan sebagai sepasang sayap burung, yang mana jika salah satunya tidak seimbang maka akan terjatuh.
9. Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung pada Allah dalam menghadapi sesuatu yang disukai, dibenci, diharapkan, atau ditakuti kalau terjadi dan bukan menggantungkannya pada suatu sebab.
10. Ridho, yaitu rasa puas hati dalam menerima segala sesuatu yang pahit. Rabi’ah Al-Adawiyyah mengatakan bahwa seorang hamba bisa dikatakan ridho jika ia senang dalam menghadapi musibah sebagaimana ia senang dalam menerima nikmat. Gambalangnya, ridho bisa dikatakan dengan istilah seperti ini “Jika diberi mau menerima, jika di tolak ia rela, jika ditinggalkan ia tetap mengabdi dan jika diajak ia menuruti”
Tetapi dalam perlakuan para Ulama’ zaman dahulu, seorang baru bisa dikatakan menjadi seorang sufisme jika dia telah memenuhi ke empat tahapan dalam Islam. Ada dua jalan yang setidaknya wajib bagi seorang manusia jalani agar mereka bisa berada pada tingkatan sufi sejati yaitu “keadaan (maqam)” dan “keadaan (hal) . Keadaan itu adalah sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan baik itu seperti fisik maupun kondisi kita pada saat itu, sedangkan maqam itu adalah kedudukan yang berada dalam tingkatan-tingkatan tertentu. Ada empt tingkatan dalam maqam. Yaitu :
Syari’at, hukum-hukum yang telah diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW yang telah ditetapkan oleh ulama’ melalui sumber nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah dengan cara Istimbat, yaitu hokum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu tauhid, fiqih, dan tasawwuf. Isi syari’at berisi segala sesuatu tentang perintah dan larangan. Perintah itu disebut dengan Ma’ruf yang meliputi perbuatan fardlu, sunnah, dan mubah. Sedangkan larangan-larangan yang disebutkan diistilahkan dengan Munkar meliputi perbuatan yang haram dan makhruh. Baik yang Ma’ruf dan yang Munkar sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an.
Tareqat, yaitu pengalaman syari’at dalam melakukan ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah tersebut/meremehkan. Dalam ma’rifat terdapat beberapa tingkatan yaitu tingkatan yang telah disebutkan diatas yang merupakan pokok-pokok ajaran Sufisme.
Hakikat, yaitu suasana kejiwaan ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya. Hakikat bisa didapat jika ia sudah lama menerapkan tareqat dan menjadi yakin terhadap apa yang dialaminya dan dihadapinya. Oleh karena itu seorang sufi sering mengalami tiga tingkatan keyakinan. Yaitu :
1. ‘Ainul Yaqin : tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indra terhadap semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran bahwa Allah sebagai penciptanya.
2. ‘Ilmul Yaqin : Tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh adanya analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3. Haqqul Yaqin : Tingkatan keyakinan yang didominasi oleh hatinurani shufi tanpa melalui ciptaannya, sehingga ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah.
Ma’rifat, yaitu hadirnya kebenaran Allah pada seorang shufi dalam keadaaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi. Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam akal pikiran.
2.7 Sufisme Di Era Globalisasi
Kita hidup pada masa ketika sains dan teknologi telah membawa umat manusia tidak hanya maju dalam bidang material, tetapi juga kepada agama dan aspek-aspek spiritual dari kehidupan.
Pada sisi lain, kesuksesan metode sains telah menetapkan batasan-batasan yang dipertimbangkan untuk menjadi bidang studi yang berguna dan praktis. Kita telah diajarkan (dicekoki) untuk percaya bahwa hanya yang bersifat materi, fisik dan lahiriah saja yang bisa diterima, dan hanya pikiran rasional yang dapat menganalisa dan layak disebut sebagai KEBENARAN.
Namun pada sisi lainnya, kita sangat mudah menjadi dikecewakan oleh berbagai agama yang mengklaim bahwa mereka telah mengakses kebenaran dan kebaikan yang absolut, sementara klaim-klaim ini jarang diaktualisasikan lewat pengalaman dan akhlak yang luhur. Dan sudah sifat alami manusia, mereka tetap bertanya-tanya tentang misteri terdalam kehidupan yang terus muncul pada masing-masing individu, dan akan selalu ada beberapa individu yang sedemikian haus untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting yang tidak akan dengan mudah dipuaskan dengan konsep-konsep filosofis rasionalistis, apalagi dengan teks-teks literal agama.
Sufisme atau tasawwuf mengajarkan kita untuk melihat di balik selubung kegelapan yang telah menutupi sistem-sistem kepercayaan kita. Seseorang yang dengan tulus mengikuti program-program latihan sufi kemungkinan setelah beberapa lama melalui berbagai ujian/kesulitan akan menemukan/mendekati suatu keadaan di mana dia dapat “melihat sesuatu sebagaimana adanya”, ketika dia telah dengan istiqamah “mengabdi/melayani/beribadah kepada Tuhan seolah-olah dia telah melihat-Nya”, dan dia benar-benar menyadari bahwa dia berada “di dunia, sekaligus bukan dunia.”
Masih banyak orang di dunia modern ini melihat latihan-latihan spiritual seperti berzikirdan praktik-praktik sufi seperti itu sebagi sesuatu yang asing dan aneh dipandang dari budaya mereka atau bahkan sudah dianggap “basi” – padahal kita tahu bahwa semua itu telah dipraktekkan oleh Sufi Besar kita, Nabi Muhammad SAW. Memang perlu diakui bahwa tidaklah mudah menemui guru sejati yang dapat membimbing/membantu kita untuk menemukan jalan keluar dari selubung gelap yang masih menyelubungi pikiran dan dunia kita. Memang salah satu tujuan Jalan Sufi ini adalah membuat suatu metoda pengujian/tes agar mereka yang hidup dalam keseharian di dunia modern ini dapat mencapai pencerahan.
Kesimpulannya adalah sufisme itu diperbolehkan dalam Ajaran Agama Islam, tetapi dengan ketentuan pokok-pokok yang tertera diatas harus ada dan bisa dilakukan secara maksimal. Jika tidak maka penyimpangan terhadap keadaan agama bisa terjadi dan menyebabkan faham-faham baru yang dapat merusak moral agama yang telah diberikan oleh Rasulullah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas yaitu :
1. Muamalah itu adalah perilaku transaksi yang sangat sering digunakan dan penting pyla untuk mengetahui konsep-konsepnya.
2. Sufisme adalah suatu ajaran yang hidup dan masih berpokokkan ajaran agama islam
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, kelompok penulis memohon adanya saran serta kritik agar kelompok penulis dapat menyempurnakan. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,Syeh Abdullah bin Qasim Al-Ghazaly.Fathul Qarib Mujib.2009.Al-Maktabah Sya’id bin Nashir:Surabaya
Bin Abdul Aziz,Syeh Zainuddin.Syarah Fathul Mu’in.1991.Nurul Huda:Surabaya
Rasjid,H Sulaiman. Fiqih Islam. 1974.Attahiriyyah:Jakarta
Haeri,Syekh Fadhlullah.Belajar Mudah Tasawuf.1994.Jakarta:Lentera
http://duniabahlul.blogspot.com/2010/05/konsep-dasar-ekonomi-dan-transisi-dalam.html
http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/fiqih-muamalah/
http://qitori.wordpress.com/2007/08/22/sufisme-dan-dunia-modern/
http://nurulwatoni.tripod.com/SEJARAH_PEMIKIRAN_TASAWUF.htm
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Konsep Dasar Ekonomi dan Transaksi dalam Sistem Muamalah Islam
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai apa yang dinamakan dengan transaksi. Transaksi itu kita laukan dalam berbagai bentuk permasalahan, mulai dari seperti jual-beli, utang-piutang,sewa-menyewa dan sebagainya. Tetapi tidak jarang ada yang menyalah gunakan hal itu dengan berbagai macam alasan. Sistem muamalah pada zaman sekarang telah tercampuri dengan perkara baru yang bisa dibilang bid’ah atau perkara yang tidak seharusnya dilakukan atau ada pada setiap transaksi dalam islam, seperti riba,kecurangan, dan sebagainya.
Pada dasarnya banyak yang tahu prinsip dalam sebuah muamalah, yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang minim. Tetapi apakah pernah terpikir kalau pengambilan keputusan tentang sebuah hukum itu haruslah didasari dengan konsep dan sumber yang jelas termasuk pada kasus muamalah. Oleh karena itulah kelompok penulis akan sedikit mengupas tentang konsep-konsep dasar dari transaksi/muamalah.
1.1.2 Meluasnya Ajaran Sufisme Disetiap Unsur Lapisan Masyarakat
Sufisme atau sering kita sebut dengan Tasawwuf adalah sesuatu yang telah jarang kita dengar seluk-beluknya. Hal itu dikarenakan adanya suatu pergantian generasi yang makin lama makin menunjukkan transparansi eksotisme tentang agama dengan lebih menonjolkan pada sebuah logika.
Zaman sekarang tidak jarang orang yang beranggapan kalau ajaran sufisme itu adalah ajaran sesat dikarenakan banyak penganutnya yang malah mengajarkan ajarannya dengan mengatas namakan dirinya sebagai Tuhan. Padahal hal itu salah, perkembangan zaman saat ini adalah perkembangan yang bertolak belakang dengan perkembangan zaman dahulu. Jika zaman dahulu sebuah perkembangan itu diukur dengan adanya pemikiran-pemikiran spiritual dan penemuan yang berdasarkan teori,praktik dan agama maka sekarang perkembangan zaman hanya diukur dari berapa banyak teknologi yang masuk dan menjelaskan sebuah penemuan dengan tingkat raionalitas yang masuk akal.
Dalam permasalahan ini mari kita kupas sedikit tentang apa itu ajaran sufisme dan pro-kontra yang menyelimutinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muamalah ?
2. Apa konsep dasar pengambilan hukum Muamalah ?
3. Apa contoh-contoh transaksi yang terdapat pada Muamalah ?
4. Bagaimana perkembangan Muamalah dalam perkembangan Globalisasi ?
5. Apa yang dimaksud dengan Sufisme dan bagaimana penyebarannya ?
6. Apa Ajaran-ajaran Pokok Sufisme ?
7. Bagaimana keadaan Sufisme dalam Era Globalisasi ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah :
1. Mengetahui makna dari Muamalah.
2. Mengetahui konsep dasar Muamalah.
3. Mengetahui beberapa contoh dari Muamalah.
4. Mengetahui perkembangan Muamalah dalam perkembangan Globalisasi.
5. Mengetahui makna dari ajaran Sufisme.
6. Mengetahui pokok-pokok ajaran Sufisme.
7. Mengetahui keadaan Sufisme di era perkembangan global.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Memahami Makna Muamalah
Secara bahasa mu’amalah diambil dari kata عامل,يعامل, معاملة yang berarti saling betindak, saling berbuat dan saling beramal. Menurut istilah, pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit. Definisi muamalah dalam arti luas adalah aturan aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitanya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Secara singkat, muamalah dapat diartikan sebagai tukar-mnukar barang atau yang member manfaat dengan cara ditentukan, seperti jual beli,utang-piutang, sewa menyew,dan sebagainya . Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah. Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.
2.2 Konsep Dasar Muamalah
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “Al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor:
• Haram zatnya
Di dalam Fiqih Muamalah, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “Ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.
• Haram selain zatnya
Beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: Tadlis (penipuan), Ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), Bai’ najasy (rekayasa pasar), Taghrir (ketidakpastian), dan Riba (tambahan).
• Tidak sah
Segala macam transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Yang seperti ini, terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.maka transaksi ini dianggap tidak sah.
PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALAH
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendiskripsikan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialeka nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
Hukum asal dalam muamalat adalah mubah. Oleh karena itu dalam beberapa poin-poin akan didapati pernyataan-pernyataan berikut sebagai pembentuk pengertian muamalah secara global :
• Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
• Menetapkan harga yang kompetitif
• Meninggalkan intervensi yang dilarang
• Menghindari eksploitasi
• Memberikan toleransi
• Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah
AKAD
Akad (al-‘Aqd), yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, Akad dalam bahasa Arab berarti: pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh fuqahâ’. Akad disini kedudukannya sebagai pengikat antara penjual dan pembeli secara syah.
RUKUN AKAD
Rukun akad ada tiga; yaitu âqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma’qûd alaih) dan shighatul ‘aqd (bentuk [ucapan] akad) .
Pertanyaan yang kemudian muncul, “Bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli saat ini yang tidak melibatkan shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad semacam ini dan karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia (‘urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan.
Prinsip-prinsip dalam penataan ekonomi Islam
Prinsip-prinsip itu adalah :
• Harta yang baik adalah tulang punggung kehidupan; wajib dicari; dikelola; dan diinvestasikan dengan baik
• Setiap orang yang mampu dan punya potensi untuk bekerja, mesti bekerja dan mencari penghasilan
• Sumber-sumber alami perlu dicari dan segala materi dan energi yang ada wajib di manfaatkan.
• Sumber-sumber pemasukan tidak boleh diperoleh dari usaha yang tidak baik.
• Kegiatan ekonomi harus mendekatkan jarak antara berbagai lapisan masyarakat yang berbeda-beda. Baik pada golongan kaya-raya maupun golongan fakir.
• Perlu ada jaminan sosial bagi setiap warga dan perlindungan atas kehidupan dan ada usaha untuk memberikan kesenangan dan ketenangan bagi mereka.
• Mendorong pengeluaran dan infak dalam kebajikan, membangun solidaritas antar warga, mewajibkan kerjasama atas dasar kebajikan dan takwa.
• Harta ditetapkan sebagai barang terhormat; pemilikkan pribadi dihormati selama penggunaannya tidak melanggar kepentingan umum.
• Sistem transaksi material disusun berdasarkan aturan yang adil, yaitu mengontrol pihak yang kuat dan melindungi pihak yang lemah.
• Negara bertanggung jawab melindungi berjalannya sistem perekonomian.
Usaha yang dilarang
• Riba ( keuntungan / kelebihan yang ditetapkan dalam transaksi utang piutang)
• Pencurian, perampokan, korupsi, mengambil hak orang lain, mengambil milik umum yang bukan haknya, dan sejenisnya.
• Perdagangan yang merusak kesehatan dan kewarasan fikiran dan barang-barang yang diharamkan agama, seperti minuman yang memabukkan, berdagang lotere, dan sejenisnya.
• Bisnis judi, hiburan maksiat, pelacuran, dan segala yang meruntuhkan moral dan budi pekerti umat manusia
• Penyuapan dan pemberian komisi –komisi yang dapat mengahncurkan nilai hak dan kesanggupan.
• Perdagangan secara licik dalam bentuk :
• Ikhtikar ( menimbun barang )
• Manipulasi ( ghasy , seperti menyembunyikan aib barang, mengurangi takaran dan timbangan).
• Bersumpah atas barang dagangan, agar pembeli percaya dan setuju atas penawarannya
• Iklan yang menipu dan promosi yang tidak jujur.
• Hal – hal diatas dapat menimbulkan kerusakan dan kebinasaan bagi umat manusia.
2.3 Contoh-contoh Aktivitas Muamalah
Salah satu transaksi dalam kegiatan ekonomi dapat berupa :
1. Jual-beli
2. Utang-Piutang
3. Sewa-menyewa
4. Khiyar
5. Riba
6. Salam
7. Syirkah
8. Qirad, dsb
1. Transaksi Jual-Beli
Jual beli memiliki arti menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain sedangkan menurut syara’ adalah menukarkan harta dengan arta yang lain melalui cara tertentu Pemilik harta, punya hak untuk melakukan penjualan dan pertukaran barang miliknya. Yang terpenting bahwa transaksinya dilakukan dengan jujur dan terbebas dari eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam jual beli pun ada yang dikatakan Khiyar, yaitu memilih. Khiyar ini biasanya selalu ada pada setiap kegiatan Mu’amalah. Ada tiga macam Khiyar :
1. Khiyar majlis. Hak pilih bagi si pembeli setelah transaksi terjadi selama mereka ( penjual dan pembeli ) masih berada ditempat terjadinya transaksi.
2. Khiyar syarat. Hak pilih bagi si pembeli yang dipersyaratkan waktu melakukan transaksi dan disetujui oleh si penjual. Si pembeli berhak memilih meneruskan atau membatalkan transaksi dalam jangka waktu yang dipersyaratkan itu.
3. Khiyar ‘aibi. Hak pilih bagi si pembeli disebabkan ada cacat barang, atau ada yang tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan pada apa yang ditransaksikan.
Rukun Jual beli :
1. Ada penjual dan pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauan sendiri, dewasa/baligh dan tidak mubadzir alias tidak sedang boros
2. Ada barang atau jasa yang diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang, dinar emas, dirham perak, barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat karena mungkin di tempat lain namanya salam.
3. Ada ijab qabul yaitu adalah ucapan transaksi antara yang menjual dan yang membeli (penjual dan pembeli).
Hukum-Hukum Jual Beli
1. Haram
Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
2. Mubah
Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
3. Wajib
Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.
Macam-macam Jual-Beli :
a. Jual beli barang yang dapat dilihat dengan ketentuan
• Keadaan bendanya suci (tidak/bukan benda najis)
• Bendanya bisa diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan
• Bendanya dapat diserahkan kepada pihak pembeli secara langsung
Selain itu juga harus ada Ijab-Qobul
b. Menjual benda yang telah disifati dalam suatu tanggungan (Pesanan)
Dalam jual-beli yang ke dua ini, wajib diadakan pendiskripsian sifat bendanya terlebih dahulu dan juga dilakukan Ijab Qobul.
c. Barang yang dijual bisa dilihat oleh kedua belah pihak atau benda tersebut nyata. Dengan kata lain tidak boleh menjual barang yang tidak terlihat baik oleh penjual maupun pembeli.
Jual beli yang dilarang :
1. Menjual barang yang tidak ada pada penjual/ bukan milik sendiri
2. Menjual barang yang ditawar oleh orang lain
3. Rekayasa penawaran
4. Barang haram
5. jual beli hutang dengan hutang
2. Utang-Piutang
Utang-Piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar dengan yang sama dengan itu. Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Hukum memberikan pitang adalah sunnah bahkan bisa menjadi wajib jika orang yang meminjam mengalami musibah atau sangat berhajat. Adapun rukun-rukun Utang-Piutang dalam syari’at Islam yaitu :
1. Adanya Ijab-Qobul
2. Adanya yang berhutang dan menghutangi
3. Barang yang dihutangkan bisa dihargai.
Adapun hukumnya membayar hutang yang jumlahnya lebih dari jumlah yang dihutangi dan hal itu diperbolehkan jika memang pada awalnya tidak ada kesepakatan atas hal itu. Jika pada awalnya telah terjadi kesepakatan bahwa yang meminjamkan itu mensyaratkan jumlah yang lebih dari yang dipinjamkan maka hal itu tidak boleh karena termasuk Riba. Adapun syarat-syarat agar suatu piutang itu menjadi amal shalih :
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
Berdasarkan uraian-uraian diatas bahwa mumalah adalah sesuatu hal yang penting maka dengan mempelajari fiqih mu’amalah diharapkan setiap muslim dalam beraktifitas khususnya dalam bidang perekonomiam mampu menerapkan atarun-aturan allah dalam rangka memperoleh, mengembangkan dan memanfaatkan harta, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat akan tercapai sebagaimana tujuan muslim pada umumnya yang senantiasa memohon doa tersebut kepada Allah.
2.4 Fiqih Muamalah Dalam Masa Globalisasi
Perkembangan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, ekspor impor dengan media L/C, dsb.
Oleh karena perubahan sosial dalam bidang muamalah terus berkembang cepat, akibat dari akselerasi globalisasi, maka pengajaran fiqh muamalah tidak cukup bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.
Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah populer
Dengan demikian, konsep-konsep dan formulasi fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zaman, tempat dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah
Reformulasi fiqh muamalah untuk menjawab tantangan modernitas yang sangat kompleks dewasa ini harus dengan memperhatikan beberapa point penting berikut .
Pertama, Menggunakan ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu tarikh tasyri. Disiplin-disiplin ilmu ini mesti dikuasai oleh ahli ekonomi Islam, apalagi para anggota Dewan Syariah Nasional dan dosen pascasarjana ekonomi Islam yang membidangi materi fiqh muamalah dan ushul fiqh. Saat ini masih banyak anggota Dewan Syariah Nasional yang tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu syariah yang memadai, sehingga keterbatasan keilmuan syariah menjadi hal yang lumrah, Hal ini dikarenakan ada di antara mereka ada yang tidak berlatar belakang pendidikan ilmu syariah.
Kedua, Dalam reformulasi fiqh muamalah, maslahah menjadi pedoman dan acuan seperti pada kaedah “Di mana ada kemaslahatan di situ ada syariah.
Ketiga, khazanah pemikiran muamalah klasik masih banyak yang relevan diterapkan untuk zaman modern dewasa ini, maka produk pemikiran fiqh tyersebut perlu dipelihara dan dipertahankan, seperti pada qoidah “Memelihara konsep lama yang mengandung kemaslahatan (masih relevan) dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih maslahah”
Keempat, berijtihad secara kolektif (ijtihad jama’iy). Saat ini tidak zamannya lagi berijtihad secara individu. Untuk memecahkan dan menjawab persoalan ekonomi keuangan kontemporer, para ahli harus berijtihad secara jamaah (kolektif). Ijtihad berjamaah dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dalam kondisi sekarang bentuk ijtihad ini semakin dibutuhkan, mengingat terpisahkannya disiplin keilmuan para ahli.
2.5 Memahami Makna Sufisme
Sufisme adalah ilmu untuk megetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Daram suatu referensi Sufisme diartikan sebagai orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin . Ajaran ini pertama kali muncul di sekitar daerah Timur Tengah. Ajaran sufisme dimulai oleh kaum Muslim di abad 1 Hijriyah ketika mereka para sahabat beserta para tabi'in coba untuk menghindari dari apapun yang mereka dapatkan setelah mereka berhasil membuka Irak, Mesir, Suriah dan negara lainnya. Beberapa dari mereka memutuskan untuk tetap menjadi Mujahidin atau sibuk dengan beribadah dan melayani umat dengan mengajar ataupun perbuatan lainnya dalam hidup mereka. Kala itu mereka mendapat sebutan "Az-Zuhaad." Zahid berarti kurang menyukai akan kenikmatan dunia karena takut hal itu justru dapat menyebabkan susutnya waktu dan perhatian yang sebenarnya, yaitu mencapai kebahagiaan yang abadi serta tidak menjadikan kehidupan dunia itu sebagai tujuan akhir.
Setelah abad keempat Hijriyah, sufisme terbagi menjadi dua jenis: tasawuf suni dan tasawuf bid'ah. Tasawuf sunni mempraktekkan zuhud dan Ibadah sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW, cara hidupnya dan para pengikutnya. Jenis sufisme yang lain adalah yang dinamakan tasawuf bid'ah yang berarti jenis sufisme yang mengajarkan cara dan jalan hidup seseorang yang datang dari India dan Persia dan tempat lainnya yang kemudian masuk menjadi bagian umat Islam. Mereka mempraktekkan cara sufisme mereka dalam lingkungan umat Islam.
Berdasarkan hal itu para Ulama memiliki beberapa pandangan tentang tasawuf. Sebagian dari mereka mendukung tasawuf dan mayoritas dari mereka menerima Sufisme karena mereka tahu bahwa Sufisme adalah bagian dari Sunnah dan jalan hidup para Khulafaur Rasyidin. Sebagian yang lainnya menyoroti beberapa perbuatan dalam sebagian Sufisme yang menurut mereka tergolong dalam praktik bid'ah. Kita harus berhati-hati ketika berurusan dengan masalah seperti ini dan kita hanya boleh menilai perbuatan seseorang dengan berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kita perlu untuk mencontoh Sufisme yang dipraktekkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan Ahlul Bait (Keluarga Nabi).
2.6 Pokok-Pokok Ajaran Sufisme
Pokok-pokok ajaran Sufisme adalah suatu ketentuan-ketentuan yang harus dilalui sebgai prasyarat seseorang sudah berhasil pada tingkatan-tingkatan tertentu dengan apa yang disebut Sufi Sejati. Hal itu terangkum dalam beberapa konsep-konsep Sufisme. Hal itu perlu karena makna dan hakikat kesucian batin, keyakinan kepada Allah, dan hasrat dan tindkan-tindakan yang didasarkan pada keyakinan dan hasrat tersebut menghasilkan kesucin itu . Konsep-konsep tersebut yaitu :
1. Taubat, yaitu meninggalkan dan tidak melakukan lagi perbuatan yang telah dilakukannya.
2. Waro’, yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Seperti menjauhi atau menghindari barang-barang yang bersifat syubhat. Waro’ disini terbagi menjadi dua, yaitu Waro’ Lahiriyah yaitu meninggalkan seluruh perbuatan kecuali yang berhubungan dengan Allah. Waro’ Batiniyah yaitu sikap hati yang tidak menerima selain Allah.
3. Zuhud, yaitu lepasnya pandangan keduniawian dan usaha untuk mmperoleh keduniawian.
4. Sabar, yaitu ketabahan dalam menghadapi dorongan hawa nafsu
5. Faqir, yaitu tenang dan tabah dan menerima segala sesuatunya dengan ikhlas dan lebih memprioritaskan orang lain dikala orang itu sedang dalam keadaan terjepit.
6. Syukur, yaitu pengakuan terhadap kenikmatan. Artinya adalah tidak menggunakan kenikmatan yang diperoleh untuk aktivitas maksiat dan batasannya adalah mengetahui kalau nikmat itu datangnya dari Allah.
7. Khauf, yaitu rasa ketakutan dalam menghadapi siksa Allah.
8. Roja’, yaitu rasa kegembiraan hati karena mengetahui adanya kemurahan dari Allah. Khauf dan Raja’ diibaratkan sebagai sepasang sayap burung, yang mana jika salah satunya tidak seimbang maka akan terjatuh.
9. Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung pada Allah dalam menghadapi sesuatu yang disukai, dibenci, diharapkan, atau ditakuti kalau terjadi dan bukan menggantungkannya pada suatu sebab.
10. Ridho, yaitu rasa puas hati dalam menerima segala sesuatu yang pahit. Rabi’ah Al-Adawiyyah mengatakan bahwa seorang hamba bisa dikatakan ridho jika ia senang dalam menghadapi musibah sebagaimana ia senang dalam menerima nikmat. Gambalangnya, ridho bisa dikatakan dengan istilah seperti ini “Jika diberi mau menerima, jika di tolak ia rela, jika ditinggalkan ia tetap mengabdi dan jika diajak ia menuruti”
Tetapi dalam perlakuan para Ulama’ zaman dahulu, seorang baru bisa dikatakan menjadi seorang sufisme jika dia telah memenuhi ke empat tahapan dalam Islam. Ada dua jalan yang setidaknya wajib bagi seorang manusia jalani agar mereka bisa berada pada tingkatan sufi sejati yaitu “keadaan (maqam)” dan “keadaan (hal) . Keadaan itu adalah sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan baik itu seperti fisik maupun kondisi kita pada saat itu, sedangkan maqam itu adalah kedudukan yang berada dalam tingkatan-tingkatan tertentu. Ada empt tingkatan dalam maqam. Yaitu :
Syari’at, hukum-hukum yang telah diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW yang telah ditetapkan oleh ulama’ melalui sumber nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah dengan cara Istimbat, yaitu hokum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu tauhid, fiqih, dan tasawwuf. Isi syari’at berisi segala sesuatu tentang perintah dan larangan. Perintah itu disebut dengan Ma’ruf yang meliputi perbuatan fardlu, sunnah, dan mubah. Sedangkan larangan-larangan yang disebutkan diistilahkan dengan Munkar meliputi perbuatan yang haram dan makhruh. Baik yang Ma’ruf dan yang Munkar sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an.
Tareqat, yaitu pengalaman syari’at dalam melakukan ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah tersebut/meremehkan. Dalam ma’rifat terdapat beberapa tingkatan yaitu tingkatan yang telah disebutkan diatas yang merupakan pokok-pokok ajaran Sufisme.
Hakikat, yaitu suasana kejiwaan ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya. Hakikat bisa didapat jika ia sudah lama menerapkan tareqat dan menjadi yakin terhadap apa yang dialaminya dan dihadapinya. Oleh karena itu seorang sufi sering mengalami tiga tingkatan keyakinan. Yaitu :
1. ‘Ainul Yaqin : tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indra terhadap semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran bahwa Allah sebagai penciptanya.
2. ‘Ilmul Yaqin : Tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh adanya analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3. Haqqul Yaqin : Tingkatan keyakinan yang didominasi oleh hatinurani shufi tanpa melalui ciptaannya, sehingga ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah.
Ma’rifat, yaitu hadirnya kebenaran Allah pada seorang shufi dalam keadaaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi. Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam akal pikiran.
2.7 Sufisme Di Era Globalisasi
Kita hidup pada masa ketika sains dan teknologi telah membawa umat manusia tidak hanya maju dalam bidang material, tetapi juga kepada agama dan aspek-aspek spiritual dari kehidupan.
Pada sisi lain, kesuksesan metode sains telah menetapkan batasan-batasan yang dipertimbangkan untuk menjadi bidang studi yang berguna dan praktis. Kita telah diajarkan (dicekoki) untuk percaya bahwa hanya yang bersifat materi, fisik dan lahiriah saja yang bisa diterima, dan hanya pikiran rasional yang dapat menganalisa dan layak disebut sebagai KEBENARAN.
Namun pada sisi lainnya, kita sangat mudah menjadi dikecewakan oleh berbagai agama yang mengklaim bahwa mereka telah mengakses kebenaran dan kebaikan yang absolut, sementara klaim-klaim ini jarang diaktualisasikan lewat pengalaman dan akhlak yang luhur. Dan sudah sifat alami manusia, mereka tetap bertanya-tanya tentang misteri terdalam kehidupan yang terus muncul pada masing-masing individu, dan akan selalu ada beberapa individu yang sedemikian haus untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting yang tidak akan dengan mudah dipuaskan dengan konsep-konsep filosofis rasionalistis, apalagi dengan teks-teks literal agama.
Sufisme atau tasawwuf mengajarkan kita untuk melihat di balik selubung kegelapan yang telah menutupi sistem-sistem kepercayaan kita. Seseorang yang dengan tulus mengikuti program-program latihan sufi kemungkinan setelah beberapa lama melalui berbagai ujian/kesulitan akan menemukan/mendekati suatu keadaan di mana dia dapat “melihat sesuatu sebagaimana adanya”, ketika dia telah dengan istiqamah “mengabdi/melayani/beribadah kepada Tuhan seolah-olah dia telah melihat-Nya”, dan dia benar-benar menyadari bahwa dia berada “di dunia, sekaligus bukan dunia.”
Masih banyak orang di dunia modern ini melihat latihan-latihan spiritual seperti berzikirdan praktik-praktik sufi seperti itu sebagi sesuatu yang asing dan aneh dipandang dari budaya mereka atau bahkan sudah dianggap “basi” – padahal kita tahu bahwa semua itu telah dipraktekkan oleh Sufi Besar kita, Nabi Muhammad SAW. Memang perlu diakui bahwa tidaklah mudah menemui guru sejati yang dapat membimbing/membantu kita untuk menemukan jalan keluar dari selubung gelap yang masih menyelubungi pikiran dan dunia kita. Memang salah satu tujuan Jalan Sufi ini adalah membuat suatu metoda pengujian/tes agar mereka yang hidup dalam keseharian di dunia modern ini dapat mencapai pencerahan.
Kesimpulannya adalah sufisme itu diperbolehkan dalam Ajaran Agama Islam, tetapi dengan ketentuan pokok-pokok yang tertera diatas harus ada dan bisa dilakukan secara maksimal. Jika tidak maka penyimpangan terhadap keadaan agama bisa terjadi dan menyebabkan faham-faham baru yang dapat merusak moral agama yang telah diberikan oleh Rasulullah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas yaitu :
1. Muamalah itu adalah perilaku transaksi yang sangat sering digunakan dan penting pyla untuk mengetahui konsep-konsepnya.
2. Sufisme adalah suatu ajaran yang hidup dan masih berpokokkan ajaran agama islam
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, kelompok penulis memohon adanya saran serta kritik agar kelompok penulis dapat menyempurnakan. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,Syeh Abdullah bin Qasim Al-Ghazaly.Fathul Qarib Mujib.2009.Al-Maktabah Sya’id bin Nashir:Surabaya
Bin Abdul Aziz,Syeh Zainuddin.Syarah Fathul Mu’in.1991.Nurul Huda:Surabaya
Rasjid,H Sulaiman. Fiqih Islam. 1974.Attahiriyyah:Jakarta
Haeri,Syekh Fadhlullah.Belajar Mudah Tasawuf.1994.Jakarta:Lentera
http://duniabahlul.blogspot.com/2010/05/konsep-dasar-ekonomi-dan-transisi-dalam.html
http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/fiqih-muamalah/
http://qitori.wordpress.com/2007/08/22/sufisme-dan-dunia-modern/
http://nurulwatoni.tripod.com/SEJARAH_PEMIKIRAN_TASAWUF.htm
0 komentar:
Posting Komentar