Sabtu, 30 Maret 2013

Males Banget Sama Ujian Nasional (UN)-nya Pemerintah




Hai pembaca,….gimana kabarnya,…saya doakan semoga baik-baik aja ya,…oh iya kali ini penulis mau menulis tentang kontroversi Ujian Nasional (UN). Kalau di kalangan anak SD sih kalau gak salah UASBN ya,..? kalau kepanjangannya sih saya gak tahu,..wkwkwkkw. ya udah deh langsung aja ya,…
Ujian Nasional atau lebih kita kenal dengan UN, adalah salah satu bentuk alat pemerintah untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan di negara kita. Kenyataannya pada saat ini program pengembangannya sudah bisa dibilang tercukupi. Tapi kelemahan pun juga sering ditemui saat pelaksanaannya. Entah kenapa pemerintah buta akan hal tersebut. Sadar atau tidak sadar bahwa Ujian Nasional dan UASBN telah membentuk generasi muda yang “Cacat Pendidikan”. Kenapa bisa begitu ? Pemerintah bisa bilang keberhasilan suatu pendidikan dalam suatu negara bisa dilihat dari grafik kelulusan tiap tahunnya. Memang sangat fantastis jika kita dapati setiap tahunnya negara meluluskan jutaan siswa dan mengeluarkan tenaga kerja baru. Tapi pemerintah tidak memperhatikan cacatnya eksekusi pada saat pelaksanaannya. Gampangnya kita menyebutnya dengan program BTA (Bagus Tapi Ancur).

Fenomena “contekan” dan “bekerja sama” adalah hal yang biasa oleh para guru dan para pengawas. Peristiwa kunci jawaban yang beredar melalui SMS dan jual-beli sudah sangat umum terjadi dalam kurun waktu seminggu sebelum eksekusi. Tapi, itu bukan masalah utama. Masalah utamanya adalah bagaimana Ujian Nasional bisa menjadi tolak ukur bagi seorang individual untuk bisa lulus. Tidak jarang terjadi peristiwa yang konyol yakni, nilai UN dari anak yang “biasa” di dalam kelas lebih tinggi dari pada nilai anak yang ”spesial” di dalam kelas. Itu mengindikasikan telah terjadi metode penjawaban trial error oleh siswa. Dan itu adalah salah satu bentuk kegagalan dari UN. Bagaimana tidak mereka menganggap bahwa jika tidak bisa menjawab dengan baik maka lebih baik memakai penghapus yang diberi huruf A,B,C,D lalu di kopyok untuk menjawabnya, ironis sekali. Kemampuan yang secara kasat mata bisa dilihat pada saat UN semua menjadi tidak berarti. Kualitas pendidikan disetiap daerah dengan fasilitas yang terbatas menjadi topik yang tidak menarik untuk diperbincangkan. Speechless deh aku,…hedeehhhhh (tepok JIDAT).
Itulah mengapa disebut sebagai cacat pendidikan. Pada akhirnya pemerintah sadar akan hal itu dan mencoba mengurai berbagai masalah dan menyelesaikannya secara bertahap. Mulai dari penggabungan nilai rapor selama tiga tahun hingga membuat soal dengan konsep “Berpaket-paket”. WAWWW…… bisa kita bayangkan jika dalam satu kelas terdapat lima paket dan sekarang kita mendengar jika akan diadakan dua puluh paket dalam satu ruangan. Itu berarti setiap ruangan memiliki soal yang berbeda tiap pesertanya.
Adanya pendapat yang pro dan kontra menunjukkan berbagai macam alasan yang bagus untuk mempertahankan konsep tersebut. Pihak pro mengatakan bahwa UN adalah salah satu sistem yang bagus karena mengandung unsur pemerataan. Jadi tidak ada pembeda-bedaan antara siswa yang ada dalam suatu wilayah negara. Sehingga bisa ditarik kesimpulan tentang perkembangan dunia pendidikan saat ini. Sedangkan pihak kontra memberikan pendapat bahwa UN itu adalah suatu tebak-tebakan yang konyol. Maksudnya adalah bisa saja terjadi ketidak sesuaian dengan apa yang diajarkan oleh pembimbing (guru) dengan soal yang keluar dalam UN. Tambah lagi adanya isu-isu kotor yang menyebutkan pemegang soal di internal pemerintahan juga memungkinkan akan mengeluarkan soal sebelum ujian dilaksanakan alias MENJUAL SOAL dan KUNCI JAWABAN. Pada dasarnya Dinas Pendidikan telah mengajukan dihapuskannya UN pada tahun 2010 lalu keapda Mahkamah Agung (MA). Tetapi ada pihak-pihak yang ingin dilakukan Peninjauan Kembali (PK). Sehingga alih-alih UN yang cacat hukum malah menjadi pro kembali.
Pemerintah buta dengan memberikan standarisasi nilai yang terlalu tinggi. Tanpa melihat situasi kultural di tiap daerah. Padahal tiap daerah memiliki fungsi kultural sendiri dalam pembentukan karakter siswa. Ketika sistem UN menggunakan standar nasional yang sentralistik, maka nilai-nilai khas kultural yang dimiliki masing-masing daerah cenderung dicampakkan. Nilai-nilai khas kultural dibeberapa daerah itulah yang tidak banyak diketahui oleh pemerintah pusat.

SO… bagaimana Solusinya,..???
Kita kembalikan lagi kepada pemerintah yakni dengan cara mengkaji ulang jenis-jenis sekolah dan program-program pemerintah yang gagal. Kemudian direhab dan di re-building….
Jika kita membicarakan hal ini, sepertinya akan semain panjang saja ya,..ok kalau gitu sampai disini dulu,..mungkin penulis akan memposting lagi lanjutan dari pembahasan perkara UN ini lebih dalam di lain waktu,…
See you,….
SEMANGAT YA UNTUK PARA GURU,…

0 komentar: