Hai pembaca,….gimana kabarnya,…saya
doakan semoga baik-baik aja ya,…oh iya kali ini penulis mau menulis tentang
kontroversi Ujian Nasional (UN). Kalau di kalangan anak SD sih kalau gak salah
UASBN ya,..? kalau kepanjangannya sih saya gak tahu,..wkwkwkkw. ya udah deh
langsung aja ya,…
Ujian Nasional atau lebih kita kenal
dengan UN, adalah salah satu bentuk alat pemerintah untuk mengukur tingkat
keberhasilan pendidikan di negara kita. Kenyataannya pada saat ini program
pengembangannya sudah bisa dibilang tercukupi. Tapi kelemahan pun juga sering
ditemui saat pelaksanaannya. Entah kenapa pemerintah buta akan hal tersebut.
Sadar atau tidak sadar bahwa Ujian Nasional dan UASBN telah membentuk generasi
muda yang “Cacat Pendidikan”. Kenapa bisa begitu ? Pemerintah bisa bilang
keberhasilan suatu pendidikan dalam suatu negara bisa dilihat dari grafik
kelulusan tiap tahunnya. Memang sangat fantastis jika kita dapati setiap
tahunnya negara meluluskan jutaan siswa dan mengeluarkan tenaga kerja baru.
Tapi pemerintah tidak memperhatikan cacatnya eksekusi pada saat pelaksanaannya.
Gampangnya kita menyebutnya dengan program BTA (Bagus Tapi Ancur).
Fenomena “contekan” dan “bekerja
sama” adalah hal yang biasa oleh para guru dan para pengawas. Peristiwa kunci
jawaban yang beredar melalui SMS dan jual-beli sudah sangat umum terjadi dalam
kurun waktu seminggu sebelum eksekusi. Tapi, itu bukan masalah utama. Masalah
utamanya adalah bagaimana Ujian Nasional bisa menjadi tolak ukur bagi seorang
individual untuk bisa lulus. Tidak jarang terjadi peristiwa yang konyol yakni,
nilai UN dari anak yang “biasa” di dalam kelas lebih tinggi dari pada nilai
anak yang ”spesial” di dalam kelas. Itu mengindikasikan telah terjadi metode
penjawaban trial error oleh siswa. Dan itu adalah salah satu bentuk
kegagalan dari UN. Bagaimana tidak mereka menganggap bahwa jika tidak bisa
menjawab dengan baik maka lebih baik memakai penghapus yang diberi huruf
A,B,C,D lalu di kopyok untuk menjawabnya, ironis sekali. Kemampuan yang
secara kasat mata bisa dilihat pada saat UN semua menjadi tidak berarti.
Kualitas pendidikan disetiap daerah dengan fasilitas yang terbatas menjadi topik
yang tidak menarik untuk diperbincangkan. Speechless deh aku,…hedeehhhhh
(tepok JIDAT).
Itulah mengapa disebut sebagai cacat
pendidikan. Pada akhirnya pemerintah sadar akan hal itu dan mencoba
mengurai berbagai masalah dan menyelesaikannya secara bertahap. Mulai dari
penggabungan nilai rapor selama tiga tahun hingga membuat soal dengan konsep “Berpaket-paket”.
WAWWW…… bisa kita bayangkan jika dalam satu kelas terdapat lima paket dan
sekarang kita mendengar jika akan diadakan dua puluh paket dalam satu ruangan. Itu
berarti setiap ruangan memiliki soal yang berbeda tiap pesertanya.
Adanya pendapat yang pro dan kontra
menunjukkan berbagai macam alasan yang bagus untuk mempertahankan konsep
tersebut. Pihak pro mengatakan bahwa UN adalah salah satu sistem yang bagus
karena mengandung unsur pemerataan. Jadi tidak ada pembeda-bedaan antara siswa
yang ada dalam suatu wilayah negara. Sehingga bisa ditarik kesimpulan tentang
perkembangan dunia pendidikan saat ini. Sedangkan pihak kontra
memberikan pendapat bahwa UN itu adalah suatu tebak-tebakan yang konyol.
Maksudnya adalah bisa saja terjadi ketidak sesuaian dengan apa yang diajarkan
oleh pembimbing (guru) dengan soal yang keluar dalam UN. Tambah lagi adanya
isu-isu kotor yang menyebutkan pemegang soal di internal pemerintahan juga
memungkinkan akan mengeluarkan soal sebelum ujian dilaksanakan alias MENJUAL
SOAL dan KUNCI JAWABAN. Pada dasarnya Dinas Pendidikan telah mengajukan
dihapuskannya UN pada tahun 2010 lalu keapda Mahkamah Agung (MA). Tetapi ada
pihak-pihak yang ingin dilakukan Peninjauan Kembali (PK). Sehingga alih-alih UN
yang cacat hukum malah menjadi pro kembali.
Pemerintah buta dengan memberikan
standarisasi nilai yang terlalu tinggi. Tanpa melihat situasi kultural di tiap
daerah. Padahal tiap daerah memiliki fungsi kultural sendiri dalam pembentukan karakter
siswa. Ketika sistem UN menggunakan standar nasional yang sentralistik, maka
nilai-nilai khas kultural yang dimiliki masing-masing daerah cenderung
dicampakkan. Nilai-nilai khas kultural dibeberapa daerah itulah yang tidak
banyak diketahui oleh pemerintah pusat.
SO… bagaimana Solusinya,..???
Kita kembalikan lagi kepada
pemerintah yakni dengan cara mengkaji ulang jenis-jenis sekolah dan
program-program pemerintah yang gagal. Kemudian direhab dan di re-building….
Jika kita membicarakan hal ini,
sepertinya akan semain panjang saja ya,..ok kalau gitu sampai disini
dulu,..mungkin penulis akan memposting lagi lanjutan dari pembahasan perkara UN
ini lebih dalam di lain waktu,…
See you,….
SEMANGAT YA UNTUK PARA GURU,…
0 komentar:
Posting Komentar