Minggu, 07 Februari 2010

Hukum dan sedikit tentang ketentuan utang piutang


Dalam kehidupan sehari-hari yang kita ketahui ada berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Mulai dari jual-beli, tukar-menukar, utang-piutang dan transaksi lainnya yang sekiranya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan mereka.
Dikatakan sangat berpengaruh karena semua transaksi ini adalah transaksi yang menuntut adanya interaksi antara dua orang atau lebih. Diantara adanya berbagai macam jenis transaksi yang ada transaksi utang-piutang dalah transaksi yang paling rumit adanya. Hal itu dikarenakan adanya saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Di dalam transaksi ini menuntut minimal dua orang yang bertingkah sebagai seorang yang berhutang dan seorang yang mmemberi hutang. Dalam interaksi ini sangat dalam dalam pembahasannya. bahkan dalam hadits dikatakan bahwa :
كخبر مسلم من نفس على أخيه كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة والله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه
Artinya :
Barang saiapa yang menghilangkan satu kesulitan Saudara (muslim)nya dari beberapa kesulitan dunia maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitan ari beberapa kesulitan di hari Kiamat . Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama ia mau menolong saudaranya

Dari Hadits diatas dikatakan bahwa Allah akan selalu menolong dan memberi pertolongan kepada hambanya yang mau dan rela secara ikhlas menolong saudaranya yangsedang kesusahan. Saudara dalam hal itu adalah sesama muslim. Karena sesama muslim itu diibaratkan sebuah bangunan yang saling memnguatkan satu sama lain. Ada hadits lain yang mengatakan :
وصح خبر من أقرض الله مرتين كان له مثل أجر أحدهما لو تصدق به
والصدقة أفضل منه
Artinya :
Barang siapa yang menghutangkan sebanyak dua kali karena mengharap ridha Allah SWT, maka ia akan mendapatkan pahala sebesar menyedekahkan salah satunya.Bersedekah lebih utama dari pada mengutangi”
Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa jika kita memberi hutang atau membantu saudara kita sebayak dua kali maka kita akan mendapatkan pahala yang besarnya adalah salah satu dari besarnya hutang yang mereka berikan. Betapa besarnya. Tetapi daripada menghutangi bersedekah adalah sesuatu yang utama dari pada seseorang yang memberikan hutang kepada orang lain. Dengan catatan sedekah itu dilakukan dengan ikhlas dan rela tanpa paksaan. Tetapi jika didapati permasalahan dalam pilihan antara bersedekah dengan hutang maka pilihlah yang paling mampu. Jika memang bersedekah itu mampu,maka bersedekahlah. Jika bersedekah itu tidak mampu amak berikanlah hartamu pada saudaramu yang lebih tidak mampu dengan menggunakan persyaratan tertentu. Jadi antara keduanya tidak ada paksaan yang dikhususkan.
Diceritakan dalam surah Al-Baqarah ayat 282 :
“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu melakukan utang-piutang dalam waktu yang ditentukan, hendaknyalah kamu menuliskannya. Dan hendaknyalah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaknyalah dia menuliskan. Dan hendaknyalah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaknyalah dia bertaqwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah dia mengurangi sedikitpaun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksilah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (bole) seorang laki-laki dengan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi bisa mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak jika dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih baik disisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidak raguan kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual-beli, janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sungguh hal itu suatu kefasikan pada kamu dan bertaqwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, san Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Dalam kitab Fathul Mu’in utang di jelaskan dalam ta’bir :
فصل في القرض والرهن ( الإقراض ) وهو تمليك شيء على أن يرد مثله ( سنة ) لأن فيه إعانة على كشف كربة فهو من السنن الأكيدة للأحاديث الشهيرة
Iqradh yaitu memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji harus mengembalikan sama dengan yang diutangkan. Hukumnya adalah sunnah karena termasuk menolong menghilangkan kesusahan seseorang.
Mengutangi termasuk dari sunnah-sunnah muakkad berdasarkan beberapa hadits yang mashyur yang telah disebutkan diatas.
Adapun lanjutan dari ta’bir tersebut yaitu :
لبعضهم ومحل ندبه إن لم يكن المقترض مضطرا وإلا وجب
Hukum sunnah tersebut jika pengutang sedang tidak dalam keadaan terjepit. Jika ia sudah dalam keadaan terjepit maka memberi utang kepadanya hukumnya wajib.
Jadi hukum sunnah dalam memberi hutang berubah menjadi wajib jika seseorang tersebut benar-benar mengalami kesudahan dan tidak bisa untuk membayar hutangnya tersebut kecuali jika ia mendapat bantuan dari pihak lain.
ويحرم الإقتراض على غير مضطر لم يرج الوفاء من جهة ظاهرة فورا في الحال وعند الحلول في المؤجل
كالإقراض عند العلم أو الظن من آخذه أنه ينفقه في معصية
Haram berutang bagi orang yang tidak dalam keadaan terjepit dimana dari segi lahirnya ia tidak dapat melunasi utangnya dengan seketika atas utang yang pelunasannya secara kontan dan melunasi setelah sampai pada waktu pembayarannya atas utang yang diangsur pembayarannya..
Sebagaimana hukum haram mengutangi terhadap orang yang diyakini atau diperkirakan bahwa ia akan menggunakan utangan tersebut untuk maksiat.
Seseorang dilarang berhutang atau haram hukumnya jika berhutang selain dalam keadaan terjepit. Jadi seseorang jika mampu tetapi berhutang dengan tujuan yang dikhususkan bagi dirinya sendiri maka hukumnya haram. Selain itu memberi hutang pada seseorang yang berniat untuk maksiat adalah haram pula. Dalam hal ini jika si pemberi hutang tidak mengetahui niat sebenarnya dari hutang tersebut maka boleh langsung memberikan hutang. Tetapi jika si pemberi hutang mengetahui niat si penghutang itu untuk maksiat baik itu dikira-kira ataupun dugaan maka haram hukumnya.
ويحصل ( بإيجاب كأقرضتك ) هذا أو ملكتكه على أن ترد مثله أو خذه ورد بدله أو إصرفه في حوائجك ورد بدله فإن حذف ورد بدله فكناية وخذه فقط لغو إلا إن سبقه أقرضني هذا فيكون قرضا أو أعطني فيكون هبة ولو اقتصر على ملكتكه ولم ينو البدل فهبة وإلا فكناية ولو اختلفا في نية البدل صدق الدافع لأنه أعرف بقصده أو في ذكر البدل صدق الآخذ في عدم الذكر لأنه الأصل والصيغة ظاهرة فيما ادعاه

Iqradh (mengutangi) dapat terwujudkan dengan ijab, misalnya : “Aku utangkan ini kepadamu”, atau “Kumilikkan ini kepadamu dengan syarat kamu harus mengembalikan sebesar itu” “Ambillah ini dan kembalikan gantinya”, atau “Gunakan ini untuk kebutuhanmu dan kembalikanlah gantinya”
Jika kata-kata ”dan kembalikanlah gantinya” dibuang maka berlaku sebagai kinayah, sedang perkataan hanya “ambillah” adalah tidak jadi, kecuali telah didahului kata-kata “Utangkanlah ini kepadaku” maka sebagai utang atau dengan kata-kata ”berikanlah ini kepadaku” maka sebagai hibah. Jika menyingkat dengan kata-kata “Kumillikkan ini kepadamu” dan tidak berniat minta gantinya, maka sebagai hibah ; dan Jika bermaksud minta gantinya maka sebagai kinayah Qiradh.
Bila kedua belah pihak bercekcok mengenai ada maksud penggantian apa tidak (dalam ucapan : “Kumilikkan ini kepadamu”) maka yang dibenarkan adalah orang yang menyerahkan barang, sebab dialah yang lebih mengetahui maksud hatinya, tetapi jika yang dipercekcokkan tentang ada atau tidak penuturan ganti, maka yang dibenarkan adalah pihak yang menerima barang yang mendakwa tidak disebutkan penuturan ganti, karena keadaan belum adalah merupakan asal kejadian yang ada dan karena shigat (pertanyaan) adalah jelas dalam perkara yang didakwakan.
Dalam iqradh terdapat sebuah syarat yaitu adanya ijab. Yaitu pernyataan dari si penghutang kepada yang dihutangi dalam hal meminjami dan mengembalikannya dalam bentuk yang sebenarnya atau sesuai jumlah dengan yang dipinjamkannya. Jika dalam ijab kata-kata yang menyatakan bahwa harta itu harus dikembalikan seperti ”dan kembalikanlah gantinya” maka akan berlaku sebagai kinayah atau sesuatu yang masih harus dijelaskan lagi.. Tetapi maksud hati masih dapat diperhitungkan disini dalam contoh si pemberi hutang memberi hutang dengan ijab yang disingkat “Kumillikkan ini kepadamu” dan tidak minta ganti,maka akan berlaku sebagai hibah atau pemberian. Jika maksud hatinya meminta ganti maka hal itu berubah menjadi Kinayah Qiradh. Jika nanti terjadi sebuah perdebatan anatara kedua belah pihak yaitu pemberi hutang dan yang dihutangi tentang maksud dari transaksi penggantian maka yang didahulukan adalah maksud hati dari yang memberi hutang. Oleh karena itulah disini niat masih diutamakan sebagai sesuatu yang syah. Lain halnya jika yang dipermasalahkan adalah ada atau tidaknya penuturan ganti maka yang dibenarkan adalah pihak penerima karena keadaan yang belum terucap itu adlah sebagai bukti ada atau tidaknya pertanyaan. Sangat perlu diperhatikan tentang perbedaan kata maksud dan kata tutur dalam bab ini. Karena rumitnya membedakan atau menela’ah perbedaan kata tersebut jika kita tidak memahami secara keseluruhan pernyataan yang telah ada.
ولو قال لمضطر أطعمتك بعوض فأنكر صدق المطعم حملا للناس على هذه المكرمة ولو قال وهبتك بعوض فقال مجانا صدق المتهب
Jika seseorang berkata kepada orang yang mudharat,”Aku memberimu makan dengan maksud kamu harus menggantinya”,lalu orang itu mengingkarinya maka yang dibenarkan adalah orang yang memberi makan karena untuk mendorong agar orang-orang mau melakukan perbuatan terpuji ini. Apabila sseseorang berkata,”Aku telah hibahkan kepadamu dengan janji kamu harus menggantinya”, lalu penerima mengatakan,”gratis”,maka yang dibenarkan adalah pihak penerima.
Hal itu dikarenakan jika telah ditentukan oleh sipemberi hutang yaitu hibah dalam kata-katanya maka jika tidak dikembalikan pun juga tidak apa-apa karena statusnya sudah menjadi pemberian. Tetapi jika si pemberi telah menentukan bahwa si penghutang harus mengembalikannya dan si penghutang mengingkarinya maka yang di tuntut adalah si penghutang. Tujuannya dari memberi hutang tidak lebih dari niatan baik dalam melakukan hal terpuji. Baik yang nantinya akan dikerjakan oleh si pemberi hutang ataupun yang penghutang.
ولو قال اشتر لي بدرهمك خبز فاشتري له كان الدرهم قرضا لا هبة على المعتمد ( وقبول ) متصل به كأقرضته وقبلت قرضه نعم القرض الحكمي كالإنفاق على اللقيط المحتاج وإطعام الجائع وكسوة العاري لا يفتقر إلى إيجاب وقبول
Jika seseorang berkata,”Belikan aku roti dengan uang dirhammu”,lalu dibelikan maka uang dirham tersebut berupa utang menurut pendapat Al-Muktamad.
Qiradh bisa terwujudkan dengan adanya qobul yang bersambung dengan ijab misalnya,”Kuutangkan ini kepadamu”,atau “Aku terima pengutangan ini”.
Memang demikian tetapi Al-Qordhu Al-Hukmi ( Utang dari segi akibat hukumnya adalah mengembalikan dalam jumlah yang sama) adalah tidak emmbutuhkan ijab qobul, misalnya menafkahi bayi temuan yang membutuhkan nafkah, memberi makan orang yang kelaparan dan memberi pakaian orang yang telanjang.
Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. Contoh hutang piutang modern yaitu kredit candak kulak, perum pegadaian, kpr BTN, Kredit investasi kecil / KIK, kredit modal kerja permanen / KMKP, dan lain sebagainya.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya. Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
Dalam Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :
- Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
- Ada yang memberi hutang / kreditor
- Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
- Ada barang atau uang yang akan dihutangkan
Hutang piutang dapat memberikan banyak manfaat / syafaat kepada kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.
وقال جمع لا يشترط في القرض الإيجاب والقبول واختاره الأذرعي وقال قياس جواز المعاطاة في البيع جوازها هنا وإنما يجوز القرض من أهل تبرع فيما يسلم فيه من حيوان وغيره ولو نقدا مغشوشا
Segolongan ulama mengatakan dalam utang tidak disyaratkan ada ijab qobul : pendapat ini dipilih oleh Al-Adzra’i dan katanya: kebolehan Mu’athah dalam jual beli adalah dikiaskan dalam utang.
Hanya saja kebolehan utang-itu diisyaratkan dari pemberi utang(muqridh) yang ahli tabarru’ (orang yang mempunyai wewenang mentasarufkan hartanya secara suka rela) dalam barang yang syah digunakan muslam fiqh baik berupa binatang ataupun yang lainnya sekalipun berbentuk emas-perak yang tidak merdu sekalipun.
Tetapi dalam hal utang piutang tidak jarang dipertanyakan tentang hukum penggunaannya. Seperti contoh jika dalam hari raya banyak sekali yang memberikan parsel yang datang yang nantinya orang yang diberi parcel akan mengembalikan kepada yang memberi. Satu masalah lagi yaitu tentang masalah nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya atau saudaranya yang sudah mengerti segala sesuatunya atau sudah berilmu. Apalagi dalam hal atau kejadian yang khusus. Seperti dipakai sebagai mas kawin misalnya. Bagaimanakah hukumnya jika menggunakan uang atau barang utangan sebagai mas kawin. Permasalahan itu di bahas dalam ta’bir berikut :
قال شيخنا والأوجه في النقوط المعتاد في الأفراح أنه هبة لا قرض وإن اعتيد رد مثله
ولو أنفق على أخيه الرشيد وعياله سنين وهو ساكت لا يرجع به على الأوجه ( و ) جاز ( لمقرض استرداد ) حيث بقي ذلك المقترض وإن زال عن ملكه ثم عاد على الأوجه بخلاف ما لو تعلق به حق لازم كرهن وكتابة فلا يرجع فيه حينئذ نعم لو آجره رجع فيه
Kata guru kita : Menurut pendapat Al-Aujah, bahwa bingkisan-bingkisan yang biasa diberikan pada hari bahagia adalah hibah, bukan utangan, sekalipun ada kebiasaan mengembalikan yang sepadan.
Jika seseorang menafkahi saudaranya yang sudah pandai atau keluarganya selama beberapa tahun, sedang ia diam saja, maka ia tidak boleh minta gantinya : Demikian menurut pendapat Al-Aujah.
Bagi Muqridh (pemberi utang) boleh menarik kembali barang yang ia utangkan, selagi harta tersebut masih menjadi milik Muqtaridh (penghutang) sekalipun harta itu sudah pernah lepas dari milik Muqtaridh dan kembali lagi kepadanya;Demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.
Lain halnya jika benda tersebut sudah ada kaitannya dengan hak lazim seperti gadai dan khitbah maka ia tidak boleh menarik kembali harta itu. Akan tetapi jika barang itu oleh Muqtaridh hanya disewakan maka bagi muqtaridh boleh menariknya kembali.
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa menurut pendapat yang umum bingkisan atau hadiah dari orang lain seperti parcel dan sebagainya itu tidak perlu dikembalikan karena itu sudah menjadi hibah bagi yang menerimanya. Walaupun nantinya yang diberi akan mengembalikan atau memberi yang sepadan atau sama harganya dengan yang diterimanya tapi hal itu tidak dihitung sebagai utang.
Sedangkan jika seseorang menafkahi keluarganya dengan makanan atau harta yang sejenisnya maka tidak diwajibkan untuk mengembalikannya jika yang menafkahi tidak bilang apapun tentang hal itu.
Pemberi hutang boleh menarik kembali barang yang dihutangkannya pada penghutang kapanpun dan dimanapun. Asal benda tersebut tidak terikat dengan badan atau kegiatan yang dapat mengikat benda dan hak kepemilikan benda tersebut dari penghutang. Seperti badan pegadaian, dan dalam hal khitabah. Dan jika harta tersebut digunakan untuk mas kawin maka hal kepemilikan dari harta utangan tersebut telah berubah dari penghutang menjadi milik orang lain. Dan itu berarti tidak boleh diambil walapun yang mengambil adalah si pemberi hutang. Pada dasarnya pernikahan tersebut adalah syah adanya karena barang yang dihutangkan kepada penghutang adalah sudah menjadi barang miliknya.
Adapun dalam pengembaliannya harta utangan dibahas dalam ta’bir berikut :
ويجب على المقترض رد المثل في المثلى وهو النقد والحبوب ولو نقدا أبطله السلطان لأنه أقرب إلى حقه ورد المثل صورة في المتقوم وهو الحيوان والثياب والجواهر ولا يجب قبول الرديء عن الجيد ولا قبول المثل في غير محل الإقراض إن كان له غرض صحيح كأن كان لنقله موءنة ولم يتحملها المقترض أو كان الموضع مخوفا ولا يلزم المقترض الدفع في غير محل الإقراض إلا إذا لم يكن لحملة مؤنة أو له مؤنة وتحملها المقرض لكن له مطالبة في غير محل الإقراض بقيمة بمحل الإقراض وقت المطالبة فيما لنقله مؤنة ولم يتحلمها المقرض لجوزا الإعتياض عنه اهـ فتح المعين صـ 72
Wajib bagi muqtaridh mengembalikan barang yang sepadan atas utang yang sepadan; yaitu utang emas/perak dan biji-bijian, sekalipun uang tersebut telah dibatalkan oleh penguasa, karena dengan mengembalikan uang itulah yang lebih mendekati hak muqridh. Wajib juga mengembalikan bentuk sepadan untuk utang barang Mutaqawwam ; yaitu binatang,pakaian dan mutiara.
Bagi muqridh tidak wajib mau menerima barang pengembalian yang jelek dari utangan yang bagus ; Tidak wajib menerima barang utangan mitsli dilain tempat pengutangan jika ketidak mauannya ada tujuan yang dibenarkan misalnya untuk mengangkut barang tersebut dari tempat penyerahan ke tempat pengutangan dibutuhakn biaya sedang muqtaridh tidak mau menganggungnya atau tempat penyerahan tersebut dikhawatirkan keselamatannya.
Bagi muqtaridh tidak wajib menyerahkan barang pengembalian utangnya di tempat selain tempat berutang dahulu kecuali untuk membawa barang tersebut tidak membutuhkan biaya atau ada biaya tetapi pihak muqridh mau menanggungnya. (Sekalipun bagi muqtaridh tida wajib menyerahkannya dilain tempat pengutangan dahulu), Tetapi bagi muqrudh boleh menuntut sejumlah barang yang diperhitungkan di tempat ia mengutangkan dahulu. berdasarkan harga diwaktu penuntutan tersebut atas barang yang membutuhkan biaya dalam pengangkutannya dan pihak muqridh tidak menangguangnya.karena kebolehan meminta ganti barang yang diutangkan. (Fathul Mu’in hal 72)
Dari pernyataan diatas diakatakan bahwa jumlah dan jenis pengembalian hutang harus sama dengan benda yang diutangkan. Seperti yang ada pada Firman Allah yang ada ini :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.
Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”
Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ’sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Ada juga beberapa sumber yang berpendapat tentang utang berikut ;
Dalam shohih Muslim pada Bab ‘Keutamaan berkumpul untuk membaca Al Qur’an dan dzikir’, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)
Memberi tenggang waktu terhadap orang yang kesulitan adalah wajib. Selanjutnya jika ingin membebaskan utangnya, maka ini hukumnya sunnah (dianjurkan). Orang yang berhati baik seperti inilah (dengan membebaskan sebagian atau seluruh utang) yang akan mendapatkan kebaikan dan pahala yang melimpah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim, pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)
Dulu Abu Qotadah pernah memiliki piutang pada seseorang. Kemudian beliau mendatangi orang tersebut untuk menyelesaikan utang tersebut. Namun ternyata orang tersebut bersembunyi tidak mau menemuinya. Lalu suatu hari, kembali Abu Qotadah mendatanginya, kemudian yang keluar dari rumahnya adalah anak kecil. Abu Qotadah pun menanyakan pada anak tadi mengenai orang yang berutang tadi. Lalu anak tadi menjawab, “Iya, dia ada di rumah sedang makan khoziroh.” Lantas Abu Qotadah pun memanggilnya, “Wahai fulan, keluarlah. Aku dikabari bahwa engkau berada di situ.” Orang tersebut kemudian menemui Abu Qotadah. Abu Qotadah pun berkata padanya, “Mengapa engkau harus bersembunyi dariku?”
Orang tersebut mengatakan, “Sungguh, aku adalah orang yang berada dalam kesulitan dan aku tidak memiliki apa-apa.” Lantas Abu Qotadah pun bertanya, “Apakah betul engkau adalah orang yang kesulitan?” Orang tersebut berkata, “Iya betul.” Lantas dia menangis.
Lalu bagaimana kita membedakan orang yang mudah dalam melunasi utang (muwsir) dan orang yang sulit melunasinya (mu’sir)?
Para ulama memang berselisih dalam mendefinisikan dua hal ini sebagaimana dapat dilihat di Fathul Bari, Ibnu Hajar. Namun yang lebih tepat adalah kedua istilah ini dikembalikan pada ‘urf yaitu kebiasaan masing-masing tempat karena syari’at tidak memberikan batasan mengenai hal ini. Jadi, jika di suatu tempat sudah dianggap bahwa orang yang memiliki harta 1 juta dan kadar utang sekian sudah dianggap sebagai muwsir (orang yang mudah melunasi utang), maka kita juga menganggapnya muwsir. Wallahu a’lam.
Inilah sedikit pembahasan mengenai keutamaan orang yang berutang, yang berhati baik untuk memberi tenggang waktu dalam pelunasan dan keutamaan orang yang membebaskan utang sebagian atau seluruhnya.
Namun, yang kami tekankan pada akhir risalah ini bahwa tulisan ini ditujukan bagi orang yang memiliki piutang dan belum juga dilunasi, bukan ditujukan pada orang yang memiliki banyak utang. Jadi jangan salah digunakan dalam berhujah. Orang-orang yang memiliki banyak utang tidak boleh berdalil dengan dalil-dalil yang kami bawakan dalam risalah ini. Coba bayangkan jika orang yang memiliki banyak utang berdalil dengan dalil-dalil di atas, apa yang akan terjadi? Dia malah akan akan sering mengulur waktu dalam pelunasan utang. Untuk mengimbangi pembahasan kali ini, insya Allah pada kesempatan berikutnya kami akan membahas ‘bahaya banyak utang’.
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.
Semoga Allah memudahkan kita untuk memiliki akhlaq mulia seperti ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Rujukan:
1. Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr. Abdul ‘Azhim Al Badawiy, Dar Ibnu Rojab
2. Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi’ Al Islam
3. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Mawqi’ Shoid Al Fawaidh
4. Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah, Asy Syamilah
5. Shohih Bukhari, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotul Awqof Al Mishriyah
6. Shohih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj, Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqiy, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, Beirut
7. Shohih Sunan Ibnu Majah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah
8. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Mawqi’ Wizarotul Awqof Al Mishriyah
9. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosy Ad Dimasqiy, Dar Thobi’ah Linnasyr wat Tawzi’
10. Tuhfatul Ahwadzi , Mawqi’ Al Islam
11. G:\msg05968.html
12. G:\lafad-dari-segi-penggunaan.html
13. G:\Hutang Piutang Menurut Ajaran Islam – Definisi, Pengertian, Hukum, Rukun & Manfaat Dari Hutang Piutang – Pendidikan Agama Islam « Riyadul Mubtadiin.htm
14. G:\hibah_rumah.htm
15. G:\comment-page-1.htm
16.http://rumaysho.com

0 komentar: