KALIMAT ITU
“ Aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun” itulah yang selalu di katakan oleh kedua orang tuanya kepadanya saat itu. Entah seudah berapa lama hal itu dikatakannya. Tapi hal itu pula tak pernah ditepatinya. Sudah lebih dari lima tahun ia berpisah dari semuanya. Wajah orang tuanya pun dia sudah lupa. Entah apa yang telah terjadi padanya,sehingga sekarang dia menjadi seperti ini. Apakah ini yang namanya sebuah takdir yang selama ini dikatakan oleh ustadz Qodir kepadanya.
“Apakah ini takdir ?,kenapa rasanya sakit sekali” gumamnya dengan lelehan air mata yang selalu mengalir dalam renungannya. Tak tahu apa yang terjadi pada saat itu. Saat itu ia baru berusia enam tahun. Sangat sakit.
“Semuanya pembohong” jeritnya.
*************
Saat malam dimana angin sepoi yang membawa uap ketakutan berhembus dengan kencang. Membawa sebuah derita yang dinamakan ketakutan. Rasa itu meyelimuti alam ini beserta penghuninya. Tapi tidak untuknya,kata-kata yang selalu diucapkan oleh ayah dan ibunya membuat semua yang mengerikan di mata jagad menjadi sebuah ilusi yang akan luntur di mata sang mentari.
“Ana sayang…,Mama dan Papa akan selalu menjagamu. Semua itu karena kami sangat mencintai dan menyayangi mu sayang” sebuah kalimat yang selalu dielu-elukannya dalam hati dan pikiran indahnya.
“Makacih Ma…,Pa….,Ana juga sangat sayang sama mama dan papa” dia menjawab kalimat itu dengan rasa cinta yang semakin membuncah. Senyuman seorang lelaki yang datang dari sebuah pintu kamar yang seolah istana itu memasuki ruangan. Melewati beberapa mainan yang tergeletak bagai mayat yang tak berdaya. Mendekat dengan sebuah senyum yang sungguh merayu. Sebuah belaian menyapu rambut Ana yang pendek dan berwarna hitam itu dengan penuh kasih sayang. Senyuman yang membawa rasa damai dalam hatinya. Ciuman kasih selamat malam telah dilakukan dengan rasa yang begitu membuncah. Kesadaran yang begitu melemah telah membuatnya terbawa dalam negeri angan-angan yang selama ini ia cita-citakan.
*****************************
“Ayah,kalau nanti Ana besal Ana ingin menjadi seolang wanita yang cantik seperti Mama” katanya dengan nada yang begitu berharap. Dia masih belum bisa mengtakan hal-hal dengan benar.
“Tentu saja sayang,kamu pasti bisa menjadi seorang wanita yang cantik seperti mama. Bahkan lebih” jawab ayahnya dengan nada yang begitu penuh cinta. Keharmonisan yang begitu sesak telah menjadi sebuah rasa yang selama ini diinginkan oleh setiap manusia kini telah mereka miliki. Harta,cinta,materi dan kasih sayang ia dapatkan dari kecil. Sejak dalam gendongan seorang yang ia sebut dengan Mama.
Tapi begitu naas keharmonisan. Keabadian itu hanyalah kepalsuan yang selalu didambakan oleh setiap orang yang telah mempunyai semua yang ia inginkan. Kebahagiaan yang selama ini ia dapat menjadikannya seorang anak yang paling bahagia di dunia. Tak tahu siapa,tak tahu mengapa seseorang sangat menginginkan semua yang dimilikinya. Anak-anak seumurannya yang ia ajak bermain selalu bilang kepadan ya bahwa mereka iri kepadanya. Hari-hari berlalu dengan cepatnya bagai roda yang terus breputar dengan cepat. Sampai pada kenyataan pahit itu. Semuanya hilang dan semuanya musnah. Keabadian itu musnah.
Saat itu dia baru saja pulang dari sekolahnya di Play Group Harapan Bangsa. Sebuah mobil BMW menjemputnya dengan sapaan yang halus. Seperti biasa di belakang supir ada mereka. Mereka yang selalu menyayanginya dengan sepenuh hati. Orang tuanya. Mereka berangkat untuk berlibur seusai Ana sekolah. Tapi Ana rebut ingin ikut bersama mereka. Tak tahu harus berbuat apa merekapun mengizinkannya. Tapi Saat di jalan terjadi sesuatu yang begitu diluar kendali mereka semua. Sebuah truk pengangkut pasir secara takmsengaja tergelincir dan keluar jalur yang seharusnya. Suatu keadaan yang tak bisa dielakkan. Supir mereka yang terekejut mengerem dengan kuat dan mengarahkan kemudi kesegala arah tanpa melihat sekitarnya. BMW itu oleng,BMW itu tak punya keseimbangan. Teriakan berhambuaran dari dalam mobil itu. Ana ketakutan. Rasa takut menyelinap dihatinya. Semua cita-cita yang selama ini telah dia persiapkan akan menjadi harapan. Tidak. Sebuah tangan memeluk tubuh mungilnya. Sekarang dia berada diantara dua badan yang siap mempertaruhkan diri mereka demi seorang malaikat kecil mereka. Rasa takut itu sedikit terusir. Dia merasakan kasih sayang itu lagi. Tapi rasa takut itu kembali lagi. Semuanya bagai mimpi. Truk itu menuju langsung dari arah depan mobil mereka. Smeuanya takut. Kendaraan yang berada di sekitar tempat irtu langsung menjauh. Tapi Mobil Ana tidak bia. Dia terperangkap adalam sebuah balutan maut yang mengikatnya dengan erat.
“Ana sayang,kamu jangan takut sayang. Kami akan melindungi kamu Nak” sebuah suara lirih terdengar dari seseorang. Mama.
“Kamu harus tetap hidup sayang. KAmu masih punya cita-cita. Wujudkanlah” sebuah suara terdengar lagi. Itu Ayah. Sebuah hal yang tidak akan pernah bisa diubah oleh siapapun. Takdir yang kini akan membuat mereka abadi dalam pelukan Sang Kuasa.Semuanya mati.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” sebuah teriakan terakhir yang kini telah ia lepaskan dari tubuhnya.
******************
Semuanya habis.Darah yang mengucur dari tubuh mati itu kini telah membusuk. Kini yang tersisa hanyalah sebuah tangisan kosong yang membelut hati seorang anak kecil. Rasa yang ditakuti oleh smua yang hidup yang juga mempunya rasa cinta dan kaasih sayang. Yaitu rasa kehilangan. Erangan masih terdengar. Dia hanya melihat dengan tatapan bingung tak mengerti apa yang telah terjadi. Menahan rasa sakit yang kini telah menjalar dari ubun-ubun kepalanya. Ia hanya merintih memanggil kedua orang tuanya. Saat mereka menjawab dengan lirih,dengan tenaga yang tersisa. Ana menuju kearah mereka yang kini tergeletak di dekat amukan sang api. Api itu seolah marah. IA menjilat-jilat puing-puing mobil yang kini hanya menjadi sebuah besi rongsokan.
Ana menyeret tubuhnya yang berat dengan tetesan air yang keluar dari ujung kedua matanya. Ia merintih menyebut nama ibu dan ayahnya. Tragis. Dengan tenaga yang tersisa akhirnya ia sampai di dekat mereka. Dengan tatapan yang gusar dan tak mengerti apa-apa,ia hanya bisa menangisi keadaan kedua orang tuanya. Bingung dan bingung. Sesaat ayahnya menatap nya dalam baringannya yang tak berdaya. Darah terus mengucur keluar dari kepala dan tubuh gagahnya yang dulu pernah ia banggakan.
”A...Anna,k...kamu harus hidup nak. Kamu harus meneruskan apa yang yah usahakan selama ini. Kamu harus menjadi penerus ayahmu ini. Ayah yang tak berguna bagimu ini nak. Maafkan ayah nak....!” sebuah kalimat yang kini telah menjdi sebuah kalimat terakhir. Satu-satunya kalimat yang tidak mengartikan melindunginya selamanya. Keabadian itu kini telah lenyap. Hanya ada guratan rasa bangga dan sesal yang membekas pada orang itu.
”A...Ana...Maafkan ibu nak,Ibu sekarang tidak bisa menjagamu lagi. Maafkan ibu. Sekarang ibu...sekarangggg....” sebuah kata-kata terakhir yang membelit hati Ana.
Semuanya kini telah mati. Hanya ia yang menahan rasa sakit. Rasa sakit yang sejati. Terukir namaitu di hatinya. Di hati yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi kata-kata yang telah menjadikannya seorang gadis yang kuat dalam usianya yang muda. ”Cinta”.Tapi semuanya telah tiada. Orang-orang berkerumun melihat kejadian itu. Truk yang menabrak mereka hancur berkeping-keping seolah telah menabrak karang yang sangat besar. Truk itu kini telah menjadi sebuah mimpi buruk. Banyak orang yang secara spontan menolong dengan cara menggotong mereka ke pinggir jalan. Tak sedikit korban saat itu. Beberapa kendaraan juga ikut terbakar dan menimbulkan beberapa orang lainnya tewas pula. Tapi banyak juga dari mereka yang masih bisa diselamatkan. Sebagian ada yang menggotong mereka yang masih bisa diselamatkan ke alam ambulan yang baru datang itu. Ana hanya bisa diam tak berkutik. Ia hanya memandangi kejadian itu. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padanya. Apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia hanya bisa menangis dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia bingung.
”A..a..ayah..,I...ibuuu” hanya kata itu yang dapat ia ucapkan setelah sekian lama dia bingung dengan apa yang terjadi. Lalu gelap.
*********
Saat itu angin berhembus pelan. Membelai,mencumbu dan seolah sedang berusaha menggoda kekhusu’an pohon-pohon yang sedang bertasbih kepada sang Ilahi. Dingin. Bulan mengintip malu dari balik dedaunan. Hawa dingin semakin lama semakin menusuk hati. Sakit. Sepi menghiasi hati dan menyayatnya dengan kenangan yang dulu.
Kini ia telah menjadi dewasa. Dia telah menjdi seorang gadis yang cantik. Sekarang dia tinggal di sebuah rumah kecil yang kini menjadi hartanya satu-satunya. Menjadi sebuah miliknya yang berharga. Hanya rumah itu. Dan orang pemilik rumah itu. Rumah yang sederhana. Ukuran yang sebesar gubuk itu telah mengajarinya berbagai macam pelajaran. Pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan dari kehidupan gololangan moderat lainnya. Kesederhanaan. Rumah yang hanya berukuran kurang lebih enam kali tujuh itu mempunyai sebuah pintu yang menghadap ke barat. Di sebelah timur dari rumah itu ada dua jendela yang mengarah tepat ke arah halaman yang juga kecil. Di halaman itu hanya terdapat bunga mawar. Bunga itu tampak layu. Seakan sedih mendapati keadaan cuaca yang makin lama makin tidak bersahabat. Dinding rumah yang bercat mrah jambu itu sudah terlihat lusuh. Debu telah menghapus keindahan rumah itu. Zaman telah menggerogoti keanggunannya. Sekarang yang tersisa hanya sebuah rumah yang berisi dengan perabotan sederhana. Di dalam rumah itu terdapat sebuah ruang tamu yang mempunyai tiga buah kursi kayu yang telah lapuk dan hampir patah. Kursi itu mengelilingi sebuah meja yang berbentuk lingkaran. Meja itu telah penuh dengan corat-coret.
Di dalam terdapat sebuah kamar yang hanya berisikan sebuah tempat tidur yang telah keras kasurnya dan sebuah lemari yang kecilnya hampir sebesar laci. Laci itu menutupi sebuah lubang pada dinidng yang menghunungkan antara kamar dengan dapur. Dapurpun hanya mempunyai beberapa peralatan yang telah memasuki masa kritisnya. Keadaan ini adalah sebuah keadaan yang dapat membuat Ana senang dan melupakan semuanya. Sebuah keadaan yang tak akan pernah bisa dimiliki oleh seorang yang mengandalkan materi.
”Saat kehilangan kesadaran,Ana dibawa oleh seseorang ke rumah sakit. Tapi di tengan jalan entah apa yang Ana pikirkan saat sadar. Ana tak tahu apa yang harus dilakukan. Ana bangun dan langsung meronta. Saat itu Ana hanya memikirkan kedua orang tuaku” kenangan itu kembali ia ingat dalam kesedihan yang telah melilitnya selama delapan tahun ia pendam. Hari ini adalah hari dimana kejadian itu terjadi. Kejadian pahit yang menrenggut orang yang sangat aku sayangi.
” Ana berlari menuju dimana ayah dan ibu Ana berada. Tapi Ana bingung. Ana tak tahu dimana mereka berada. Ana hanya bisa berlari dan mencari” ceritanya pada seseorang. Seseorang yang kini telah menjadi malaikat penolongnya. Orang yang kini telah menjadi pangkuan hidupnya. Orang yang telah menjadi satu dengannya. Secercah rasa yang dulu pernah hilang,kini telah kembali dengan kehangatannya yang selalu ia damba-dambakan.
”Rasanya sakit nek...,rasanya sakit sekali. Sakitnya di sini nek !” katanya dengan air matanya yang terus saja mengalir dari matanya yang bening. Kedua tangannya di silangkan ke dadanya. Seolah memeluk sesuatu yang sangat tidak ingin ia lepaskan.
”Sa...sakit..nya di sini nek di sini rasanya sakiit sekali. Mereka telah membohongi Ana nek” lanjutnya. Ana hanya bisa mengingat kejadian pahit itu. Hanya itu.
”Ana,mereka tidak pernah membohongimu nak. Mereka sayang padamu. Mereka tak pernah sekalipun menyia-nyiakan kamu sayang. Kamu tidak boleh berkata seperti itu nak. Mengerti sayang ?” seorang nenek yang usianya sudah hampir kepala enam itu menenangkannya. Nenek itu menolong Ana saat dia pingsan di jalan tak beberapa lama setelah kecelakaan itu menimpanya. Nenek Farida.
Ana hanya bisa menangis dan menangis. Perasaan yang sakit itu telah menjadikannya gadis yang liar. Tatapan matanya yang seolah telah kehilangan cahaya kepercayaan pada orang lain itu membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Ana hanya diam dan menangis. Meresapi apa yang dikatakan oleh nenek. Pelan-pelan Ana meletakkan kepalanya di pangkuan Nenek Farida. Menenangkan hatinya dengan isakan-isakan yang keluar secara terus menerus dari tenggorokannya.Meresapinya,dan tenang dalam belaian kasih sayang. Saat itu hari terasa begitu panjang. Dan menyedihkan.
“ Aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun” itulah yang selalu di katakan oleh kedua orang tuanya kepadanya saat itu. Entah seudah berapa lama hal itu dikatakannya. Tapi hal itu pula tak pernah ditepatinya. Sudah lebih dari lima tahun ia berpisah dari semuanya. Wajah orang tuanya pun dia sudah lupa. Entah apa yang telah terjadi padanya,sehingga sekarang dia menjadi seperti ini. Apakah ini yang namanya sebuah takdir yang selama ini dikatakan oleh ustadz Qodir kepadanya.
“Apakah ini takdir ?,kenapa rasanya sakit sekali” gumamnya dengan lelehan air mata yang selalu mengalir dalam renungannya. Tak tahu apa yang terjadi pada saat itu. Saat itu ia baru berusia enam tahun. Sangat sakit.
“Semuanya pembohong” jeritnya.
*************
Saat malam dimana angin sepoi yang membawa uap ketakutan berhembus dengan kencang. Membawa sebuah derita yang dinamakan ketakutan. Rasa itu meyelimuti alam ini beserta penghuninya. Tapi tidak untuknya,kata-kata yang selalu diucapkan oleh ayah dan ibunya membuat semua yang mengerikan di mata jagad menjadi sebuah ilusi yang akan luntur di mata sang mentari.
“Ana sayang…,Mama dan Papa akan selalu menjagamu. Semua itu karena kami sangat mencintai dan menyayangi mu sayang” sebuah kalimat yang selalu dielu-elukannya dalam hati dan pikiran indahnya.
“Makacih Ma…,Pa….,Ana juga sangat sayang sama mama dan papa” dia menjawab kalimat itu dengan rasa cinta yang semakin membuncah. Senyuman seorang lelaki yang datang dari sebuah pintu kamar yang seolah istana itu memasuki ruangan. Melewati beberapa mainan yang tergeletak bagai mayat yang tak berdaya. Mendekat dengan sebuah senyum yang sungguh merayu. Sebuah belaian menyapu rambut Ana yang pendek dan berwarna hitam itu dengan penuh kasih sayang. Senyuman yang membawa rasa damai dalam hatinya. Ciuman kasih selamat malam telah dilakukan dengan rasa yang begitu membuncah. Kesadaran yang begitu melemah telah membuatnya terbawa dalam negeri angan-angan yang selama ini ia cita-citakan.
*****************************
“Ayah,kalau nanti Ana besal Ana ingin menjadi seolang wanita yang cantik seperti Mama” katanya dengan nada yang begitu berharap. Dia masih belum bisa mengtakan hal-hal dengan benar.
“Tentu saja sayang,kamu pasti bisa menjadi seorang wanita yang cantik seperti mama. Bahkan lebih” jawab ayahnya dengan nada yang begitu penuh cinta. Keharmonisan yang begitu sesak telah menjadi sebuah rasa yang selama ini diinginkan oleh setiap manusia kini telah mereka miliki. Harta,cinta,materi dan kasih sayang ia dapatkan dari kecil. Sejak dalam gendongan seorang yang ia sebut dengan Mama.
Tapi begitu naas keharmonisan. Keabadian itu hanyalah kepalsuan yang selalu didambakan oleh setiap orang yang telah mempunyai semua yang ia inginkan. Kebahagiaan yang selama ini ia dapat menjadikannya seorang anak yang paling bahagia di dunia. Tak tahu siapa,tak tahu mengapa seseorang sangat menginginkan semua yang dimilikinya. Anak-anak seumurannya yang ia ajak bermain selalu bilang kepadan ya bahwa mereka iri kepadanya. Hari-hari berlalu dengan cepatnya bagai roda yang terus breputar dengan cepat. Sampai pada kenyataan pahit itu. Semuanya hilang dan semuanya musnah. Keabadian itu musnah.
Saat itu dia baru saja pulang dari sekolahnya di Play Group Harapan Bangsa. Sebuah mobil BMW menjemputnya dengan sapaan yang halus. Seperti biasa di belakang supir ada mereka. Mereka yang selalu menyayanginya dengan sepenuh hati. Orang tuanya. Mereka berangkat untuk berlibur seusai Ana sekolah. Tapi Ana rebut ingin ikut bersama mereka. Tak tahu harus berbuat apa merekapun mengizinkannya. Tapi Saat di jalan terjadi sesuatu yang begitu diluar kendali mereka semua. Sebuah truk pengangkut pasir secara takmsengaja tergelincir dan keluar jalur yang seharusnya. Suatu keadaan yang tak bisa dielakkan. Supir mereka yang terekejut mengerem dengan kuat dan mengarahkan kemudi kesegala arah tanpa melihat sekitarnya. BMW itu oleng,BMW itu tak punya keseimbangan. Teriakan berhambuaran dari dalam mobil itu. Ana ketakutan. Rasa takut menyelinap dihatinya. Semua cita-cita yang selama ini telah dia persiapkan akan menjadi harapan. Tidak. Sebuah tangan memeluk tubuh mungilnya. Sekarang dia berada diantara dua badan yang siap mempertaruhkan diri mereka demi seorang malaikat kecil mereka. Rasa takut itu sedikit terusir. Dia merasakan kasih sayang itu lagi. Tapi rasa takut itu kembali lagi. Semuanya bagai mimpi. Truk itu menuju langsung dari arah depan mobil mereka. Smeuanya takut. Kendaraan yang berada di sekitar tempat irtu langsung menjauh. Tapi Mobil Ana tidak bia. Dia terperangkap adalam sebuah balutan maut yang mengikatnya dengan erat.
“Ana sayang,kamu jangan takut sayang. Kami akan melindungi kamu Nak” sebuah suara lirih terdengar dari seseorang. Mama.
“Kamu harus tetap hidup sayang. KAmu masih punya cita-cita. Wujudkanlah” sebuah suara terdengar lagi. Itu Ayah. Sebuah hal yang tidak akan pernah bisa diubah oleh siapapun. Takdir yang kini akan membuat mereka abadi dalam pelukan Sang Kuasa.Semuanya mati.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” sebuah teriakan terakhir yang kini telah ia lepaskan dari tubuhnya.
******************
Semuanya habis.Darah yang mengucur dari tubuh mati itu kini telah membusuk. Kini yang tersisa hanyalah sebuah tangisan kosong yang membelut hati seorang anak kecil. Rasa yang ditakuti oleh smua yang hidup yang juga mempunya rasa cinta dan kaasih sayang. Yaitu rasa kehilangan. Erangan masih terdengar. Dia hanya melihat dengan tatapan bingung tak mengerti apa yang telah terjadi. Menahan rasa sakit yang kini telah menjalar dari ubun-ubun kepalanya. Ia hanya merintih memanggil kedua orang tuanya. Saat mereka menjawab dengan lirih,dengan tenaga yang tersisa. Ana menuju kearah mereka yang kini tergeletak di dekat amukan sang api. Api itu seolah marah. IA menjilat-jilat puing-puing mobil yang kini hanya menjadi sebuah besi rongsokan.
Ana menyeret tubuhnya yang berat dengan tetesan air yang keluar dari ujung kedua matanya. Ia merintih menyebut nama ibu dan ayahnya. Tragis. Dengan tenaga yang tersisa akhirnya ia sampai di dekat mereka. Dengan tatapan yang gusar dan tak mengerti apa-apa,ia hanya bisa menangisi keadaan kedua orang tuanya. Bingung dan bingung. Sesaat ayahnya menatap nya dalam baringannya yang tak berdaya. Darah terus mengucur keluar dari kepala dan tubuh gagahnya yang dulu pernah ia banggakan.
”A...Anna,k...kamu harus hidup nak. Kamu harus meneruskan apa yang yah usahakan selama ini. Kamu harus menjadi penerus ayahmu ini. Ayah yang tak berguna bagimu ini nak. Maafkan ayah nak....!” sebuah kalimat yang kini telah menjdi sebuah kalimat terakhir. Satu-satunya kalimat yang tidak mengartikan melindunginya selamanya. Keabadian itu kini telah lenyap. Hanya ada guratan rasa bangga dan sesal yang membekas pada orang itu.
”A...Ana...Maafkan ibu nak,Ibu sekarang tidak bisa menjagamu lagi. Maafkan ibu. Sekarang ibu...sekarangggg....” sebuah kata-kata terakhir yang membelit hati Ana.
Semuanya kini telah mati. Hanya ia yang menahan rasa sakit. Rasa sakit yang sejati. Terukir namaitu di hatinya. Di hati yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi kata-kata yang telah menjadikannya seorang gadis yang kuat dalam usianya yang muda. ”Cinta”.Tapi semuanya telah tiada. Orang-orang berkerumun melihat kejadian itu. Truk yang menabrak mereka hancur berkeping-keping seolah telah menabrak karang yang sangat besar. Truk itu kini telah menjadi sebuah mimpi buruk. Banyak orang yang secara spontan menolong dengan cara menggotong mereka ke pinggir jalan. Tak sedikit korban saat itu. Beberapa kendaraan juga ikut terbakar dan menimbulkan beberapa orang lainnya tewas pula. Tapi banyak juga dari mereka yang masih bisa diselamatkan. Sebagian ada yang menggotong mereka yang masih bisa diselamatkan ke alam ambulan yang baru datang itu. Ana hanya bisa diam tak berkutik. Ia hanya memandangi kejadian itu. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padanya. Apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia hanya bisa menangis dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia bingung.
”A..a..ayah..,I...ibuuu” hanya kata itu yang dapat ia ucapkan setelah sekian lama dia bingung dengan apa yang terjadi. Lalu gelap.
*********
Saat itu angin berhembus pelan. Membelai,mencumbu dan seolah sedang berusaha menggoda kekhusu’an pohon-pohon yang sedang bertasbih kepada sang Ilahi. Dingin. Bulan mengintip malu dari balik dedaunan. Hawa dingin semakin lama semakin menusuk hati. Sakit. Sepi menghiasi hati dan menyayatnya dengan kenangan yang dulu.
Kini ia telah menjadi dewasa. Dia telah menjdi seorang gadis yang cantik. Sekarang dia tinggal di sebuah rumah kecil yang kini menjadi hartanya satu-satunya. Menjadi sebuah miliknya yang berharga. Hanya rumah itu. Dan orang pemilik rumah itu. Rumah yang sederhana. Ukuran yang sebesar gubuk itu telah mengajarinya berbagai macam pelajaran. Pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan dari kehidupan gololangan moderat lainnya. Kesederhanaan. Rumah yang hanya berukuran kurang lebih enam kali tujuh itu mempunyai sebuah pintu yang menghadap ke barat. Di sebelah timur dari rumah itu ada dua jendela yang mengarah tepat ke arah halaman yang juga kecil. Di halaman itu hanya terdapat bunga mawar. Bunga itu tampak layu. Seakan sedih mendapati keadaan cuaca yang makin lama makin tidak bersahabat. Dinding rumah yang bercat mrah jambu itu sudah terlihat lusuh. Debu telah menghapus keindahan rumah itu. Zaman telah menggerogoti keanggunannya. Sekarang yang tersisa hanya sebuah rumah yang berisi dengan perabotan sederhana. Di dalam rumah itu terdapat sebuah ruang tamu yang mempunyai tiga buah kursi kayu yang telah lapuk dan hampir patah. Kursi itu mengelilingi sebuah meja yang berbentuk lingkaran. Meja itu telah penuh dengan corat-coret.
Di dalam terdapat sebuah kamar yang hanya berisikan sebuah tempat tidur yang telah keras kasurnya dan sebuah lemari yang kecilnya hampir sebesar laci. Laci itu menutupi sebuah lubang pada dinidng yang menghunungkan antara kamar dengan dapur. Dapurpun hanya mempunyai beberapa peralatan yang telah memasuki masa kritisnya. Keadaan ini adalah sebuah keadaan yang dapat membuat Ana senang dan melupakan semuanya. Sebuah keadaan yang tak akan pernah bisa dimiliki oleh seorang yang mengandalkan materi.
”Saat kehilangan kesadaran,Ana dibawa oleh seseorang ke rumah sakit. Tapi di tengan jalan entah apa yang Ana pikirkan saat sadar. Ana tak tahu apa yang harus dilakukan. Ana bangun dan langsung meronta. Saat itu Ana hanya memikirkan kedua orang tuaku” kenangan itu kembali ia ingat dalam kesedihan yang telah melilitnya selama delapan tahun ia pendam. Hari ini adalah hari dimana kejadian itu terjadi. Kejadian pahit yang menrenggut orang yang sangat aku sayangi.
” Ana berlari menuju dimana ayah dan ibu Ana berada. Tapi Ana bingung. Ana tak tahu dimana mereka berada. Ana hanya bisa berlari dan mencari” ceritanya pada seseorang. Seseorang yang kini telah menjadi malaikat penolongnya. Orang yang kini telah menjadi pangkuan hidupnya. Orang yang telah menjadi satu dengannya. Secercah rasa yang dulu pernah hilang,kini telah kembali dengan kehangatannya yang selalu ia damba-dambakan.
”Rasanya sakit nek...,rasanya sakit sekali. Sakitnya di sini nek !” katanya dengan air matanya yang terus saja mengalir dari matanya yang bening. Kedua tangannya di silangkan ke dadanya. Seolah memeluk sesuatu yang sangat tidak ingin ia lepaskan.
”Sa...sakit..nya di sini nek di sini rasanya sakiit sekali. Mereka telah membohongi Ana nek” lanjutnya. Ana hanya bisa mengingat kejadian pahit itu. Hanya itu.
”Ana,mereka tidak pernah membohongimu nak. Mereka sayang padamu. Mereka tak pernah sekalipun menyia-nyiakan kamu sayang. Kamu tidak boleh berkata seperti itu nak. Mengerti sayang ?” seorang nenek yang usianya sudah hampir kepala enam itu menenangkannya. Nenek itu menolong Ana saat dia pingsan di jalan tak beberapa lama setelah kecelakaan itu menimpanya. Nenek Farida.
Ana hanya bisa menangis dan menangis. Perasaan yang sakit itu telah menjadikannya gadis yang liar. Tatapan matanya yang seolah telah kehilangan cahaya kepercayaan pada orang lain itu membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Ana hanya diam dan menangis. Meresapi apa yang dikatakan oleh nenek. Pelan-pelan Ana meletakkan kepalanya di pangkuan Nenek Farida. Menenangkan hatinya dengan isakan-isakan yang keluar secara terus menerus dari tenggorokannya.Meresapinya,dan tenang dalam belaian kasih sayang. Saat itu hari terasa begitu panjang. Dan menyedihkan.
0 komentar:
Posting Komentar